Jakarta, MinergyNews– Indonesia berkomitmen untuk mengatasi isu terkait akses energi, smart and clean technology, dan pembiayaan di sektor energi sebagai langkah-langkah dalam mendukung pencapaian target Paris Agreement, yakni penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai dengan Nationally Determined Contributions/NDC pada 2030 sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan Bantuan Internasional. Hal tersebut dikemukakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, pada peluncuran HSBC Energy Transition Project di Indonesia, Selasa (10/8).
Arifin pun menegaskan bahwa aksi mitigasi yang berperan paling besar dalam upaya penurunan GRK di sektor energi adalah pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Pemerintah terus berusaha untuk menaikkan porsi EBT pada bauran energi, khususnya pada sektor ketenagalistrikan. Saat ini, bauran EBT baru mencapai 11,2 persen, masih berada di bawah target bauran energi tahun 2025 sebesar 23%. Potensi EBT yang mencapai lebih dari 400 Gigawatt (GW) pun baru dimanfaatkan sebesar 10 GW atau 2,5% dari total cadangan.
“Saat ini Kementerian ESDM telah menyusun Grand Strategi Energi Nasional (GSEN) yang diharapkan mampu membuahkan solusi untuk tantangan ketahanan dan kemandirian energi nasional dan menjadi jawaban tantangan yang saat ini dihadapi, antara lain keterbatasan pengembangan EBT dan tuntutan pembangunan infrastruktur yang lebiih masif dan tepat guna,” ujar Arifin.
Pada GSEN, Kementerian ESDM memetakan rencana penambahan kapasitas pembangkit EBT sebesar 38 GW, hingga tahun 2035, melalui upaya percepatan substitusi energi primer/final, konversi energi primer fosil, penambahan kapasitas EBT, dan pemanfaatan EBT non listrik/non BBN.
“Untuk mencapai target tersebut Pemerintah memprioritaskan pengembangan energi surya karena biaya investasinya yang sekarang semakin kompetitif, semakin murah, dan waktu pelaksanaannya bisa lebih cepat, dan memiliki sumber yang cukup banyak,” tuturnya.
Dalam memprioritaskan pengembangan PLTS, Indonesia bertumpu pada tiga program yang tengah berjalan, yakni PLTS Rooftop, PLTS Skala Besar di area bekas tambang dan lahan non-produktif, serta PLTS Terapung.
“PLTS Atap kita memiliki banyak potensi, dari gedung pemerintah, bangunan dan fasilitas milik BUMN, industri dan bisnis rumah tangga. Kita mempunyai target di tahun 2030, kita harus sudah bisa memasang sampai 3,6 GW. Sementara untuk pengembangan PLTS Skala Besar, Pemerintah telah menetapkan target sebesar 5,34 GW,” tandas Arifin.
Saat ini, Indonesia juga tengah membangun PLTS Terapung berkapasitas 145 MW di Waduk Cirata yang ditargetkan dapat beroperasi pada November 2022.
“PLTS Terapung ini, dari hari ke hari menunjukkan tingkat competitiveness yang semakin tinggi. Tentu saja kita harapkan jenis-jenis PLTS Terapung ini akan terus berkembang dan kemudian kita juga bisa memanfaatkan seluruh waduk-waduk, baik yang memiliki PLTA maupun yang tidak. Kita punya potensi sampai 12 GW di 28 PLTA eksisting dan di waduk atau danau dengan potensi 28 GW di 375 lokasi,” tambahnya.
Pengembangan EBT skala besar juga dilakukan melalui program Renewable Energy-Based Industry Development (REBID) dengan total potensi 50 GW. Program REBID ini dicanangkan melalui integrasi antara sisi suplai dan sisi demand untuk menciptakan pertumbuhan industri.
“Seperti pemanfaatan PLTA skala besar yang terintegrasi dengan kawasan industri, sehingga dapat menciptakan sinergi antara pengembangan EBT dengan wilayah ekonomi. Ke depannya memang industri-industri ini pasti mensyaratkan hasil produk industrinya yang memanfaatkan energi bersih. Untuk itu kita harus bisa merespons tren ini ke depan, sehingga produk industri kita tetap dapat bersaing di pasar internasional,” pungkas Arifin.