Transparansi dan Akuntabilitas Rantai Pasok Mineral Kritis: Seruan Global untuk Transisi Energi yang Adil

Yogyakarta, MinergyNews– Lonjakan permintaan global terhadap mineral kritis memicu krisis ganda yang mengancam, rantai pasok yang rapuh dan risiko sosial-lingkungan yang semakin memburuk. Di tengah perencanaan yang minim dan daya tawar rendah dari negara produsen, gangguan pasokan yang bisa mengguncang transisi energi global kini harus segera diantisipasi, sebelum eksploitasi berlebihan menimbulkan dampak parah pada masyarakat dan lingkungan.

Berdasarkan data United States Geological Survey USGS, produksi nikel dunia pada 2024 diperkirakan mencapai 3,7 juta metrik ton (MT), dengan Indonesia menyumbang sekitar 2,2 juta MT atau 59,46% dari total produksi global. Disisi lain ketergantungan yang tinggi terhadap sebagian negara produsen mineral dalam rantai pasok juga meningkatkan risiko ekonomi dan lingkungan yang perlu ditangani secara sistematis.

Salah satu kasus yang mencerminkan kerentanan ini adalah penurunan produksi PT Gunbuster Nickel Industry (GNI), salah satu smelter nikel terbesar di Indonesia dengan 21,6 juta ton input bijih nikel per tahun, yang hampir tutup total hanya beberapa bulan setelah perusahaan induknya di China, Jiangsu Delong Nickel Industry Co, mengalami kebangkrutan. PT GNI telah menutup sebagian besar jalur produksinya sejak awal tahun 2025, akibat tekanan finansial dari strategi ekspansi agresif yang dilakukan Jiangsu Delong di Indonesia. Situasi ini menunjukkan bagaimana investasi besar tanpa perencanaan berkelanjutan menyebabkan dampak serius bagi ekonomi lokal, kerusakan lingkungan dan resiko tenaga kerja.

Merespons tantangan ini, sejumlah organisasi masyarakat sipil yang bekerja di isu mineral kritis menggelar International Conference of Critical Mineral-Producing Countries: Mobilizing for Justice and South-South Cooperation. Konferensi ini dihadiri oleh perwakilan dari negara-negara penghasil mineral kritis seperti Kolombia, Afrika Selatan, Malaysia, Indonesia, dan Filipina.

Konferensi yang diselenggarakan di Yogyakarta pada 21-22 Februari 2025 ini menegaskan pentingnya memperkuat kerja sama advokasi antarnegara Selatan-Selatan serta memastikan transisi energi global berlangsung secara transparan dan adil. Hal ini menjadi krusial mengingat dampak negatif yang selama ini ditimbulkan oleh eksploitasi mineral kritis terhadap lingkungan dan masyarakat lokal.

“Berkaca dari fenomena pada PT GNI menjadi pertanda adanya missmatch antara izin smelter yang terlalu mudah diberikan beberapa tahun terakhir, dengan kesiapan tata kelola dari sisi pasokan mineral. Negara produsen mineral kritis seperti Indonesia harus menjalankan moratorium smelter untuk mengendalikan pasokan dan harga di pasar internasional. Momentum moratorium bisa dijadikan sebagai langkah evaluasi menyeluruh seluruh kebijakan di rantai pasok mineral kritis.” kata Bhima Yudhistira, Direktur sekaligus Ekonom CELIOS.

Lebih lanjut Bhima mengatakan bahwa harga nikel misalnya yang terlalu rendah, industri tengah yang tidak dibangun (hollow in the middle), dan dampak lingkungan yang terlanjur berisiko tinggi menjadikan negara produsen kehilangan daya tawar dihadapan pembeli baik industri stainless steel dan kendaraan listrik. “Penguatan kerjasama antar negara produsen mineral kritis harus memasukkan prinsip tata kelola, industrialisasi yang berkelanjutan dan pro terhadap standar lingkungan yang lebih ketat, termasuk tidak menambah jumlah PLTU batubara di kawasan industri.” tegas Bhima.

“Kita harus mengorganisir aliansi untuk mengangkat isu-isu yang diakibatkan oleh ekstraksi mineral kritis, termasuk kondisi pekerja yang buruk, bahaya kesehatan bagi masyarakat lokal, degradasi lingkungan, dan distribusi kekayaan yang tidak adil. Aliansi ini harus melibatkan berbagai kelompok terdampak, seperti petani, masyarakat adat, pekerja, dan komunitas perkotaan yang selama ini menanggung dampak terbesar dari eksploitasi mineral kritis,” ujar Jezri Krinsky dari Institute for Economic Justice, Afrika Selatan.

Terlepas dari ekspansi industri ekstraksi mineral, biaya lingkungan dan sosial yang ditanggung negara penghasil jauh lebih besar dibandingkan keuntungan ekonominya. Banyak deposit mineral terkaya terletak di wilayah yang sensitif secara ekologis dan merupakan tanah adat, di mana aktivitas pertambangan telah menyebabkan deforestasi, pencemaran air, dan peminggiran masyarakat lokal.

“Penambangan di daerah yang sensitif terhadap lingkungan tidak boleh diizinkan. Potensi kerusakan yang tidak dapat diperbaiki membutuhkan kerangka regulasi yang kuat dan komitmen terhadap praktik berkelanjutan yang benar-benar mencerminkan prinsip perlindungan lingkungan dan kesehatan masyarakat,” tegas Theiva Lingam, Friends of the Earth (FoE) Malaysia dalam sesi diskusi.

Transparansi dan Akuntabilitas dalam Rantai Pasok

Konferensi ini menyerukan pembentukan regulasi yang transparan dan konsisten untuk mengatasi kontradiksi dalam kebijakan saat ini, yang secara agresif mendorong ekstraksi mineral kritis untuk produksi baterai tetapi mengabaikan pengawasan lingkungan. Tanpa langkah-langkah tegas, target keberlanjutan global, termasuk tujuan mencapai target net-zero 2045, berisiko menjadi janji kosong.

Valentina Rincon, perwakilan dari Centro Regional de Empresas y Emprendimientos Responsables (CREER) Kolombia, menekankan pentingnya menciptakan ruang bagi organisasi masyarakat sipil di negara-negara Selatan untuk bertukar pengalaman, informasi, serta praktik terbaik guna memperkuat advokasi.

“Melalui kolaborasi, kita dapat memperkuat kerangka kerja hak asasi manusia dalam rantai nilai mineral kritis, mempromosikan model tata kelola yang memprioritaskan partisipasi, akuntabilitas, dialog, dan keadilan dalam transisi energi, terutama bagi masyarakat yang terdampak langsung,” pungkas Valentina.

Para peserta konferensi juga menyoroti urgensi peningkatan akuntabilitas perusahaan dan transparansi data dalam rantai pasokan mineral kritis. Mereka menuntut pengungkapan wajib terkait sumber bahan baku (traceability), pendanaan, serta dampak lingkungan dari operasi pertambangan. Saat ini, hanya segelintir perusahaan yang secara terbuka mengungkapkan asal-usul nikel mereka, sehingga menyulitkan pengawasan dan regulasi yang efektif.

Dengan adanya seruan ini, konferensi menegaskan perlunya pendekatan yang lebih berkeadilan dalam pengelolaan sumber daya mineral kritis, memastikan bahwa eksploitasi sumber daya tidak lagi hanya menguntungkan segelintir aktor, tetapi juga melindungi hak masyarakat dan kelestarian lingkungan di negara-negara penghasil mineral kritis.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *