Jakarta, MinergyNews– Bagi masyarakat perkotaan kata terang benderang mungkin sudah menjadi hal yang biasa. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi warga Desa Waengapan, Kecamatan Lolong Guba, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku. Bagi mereka, gelap adalah hal yang biasa, namun terang adalah luar biasa.
Waengapan sebelumnya merupakan nama dusun. Agar kehidupan menjadi lebih baik, dusun ini kemudian dikembangkan menjadi desa pada tahun 2016. Kegiatan utama warga Desa Waengapan adalah menyuling kayu putih. Di samping itu, pada tahun 2011, Waengapan juga ditetapkan menjadi Komunitas Adat Terpencil.
Selama ini warga desa mengandalkan penerangan yang berasal dari getah pohon damar. Getah tersebut dimasukkan ke dalam bambu, kemudian dibakar dan dijadikan penerangan sebagaimana layaknya obor. Warga juga terkadang membeli minyak tanah, namun harga yang tidak menentu menyebabkan hanya sesekali saja minyak tanah digunakan.
Peter Latubual, 53 tahun, menceritakan, untuk mendapatkan penerangan, warga Desa Waengapan harus menempuh waktu 2 hari ke Gunung Biru untuk mendapatkan getah pohon damar yang dijadikan bahan bakar penerangan. Tidak jarang saat berjalan di hutan, Peter maupun warga lainnya bertemu binatang buas.
“Kita gores pohon damar itu. Setelah tindil (wadah tempat menampung getah) penuh, tunggu sampai kering 2 atau 3 hari, setelah itu kita taruh di bakul. Getah damar yang sudah keras itu berat sekali. Kalau anak muda bisa bawa sampai 30 kilo. Di rumah kita isi di bambu, baru kita buat bakar seperti obor,” terang Peter, Selasa (19/11).
“Kita yang ambil sendiri di Gunung Biru, itu ada di hutan, sendiri atau rombongan. Kalau ada binatang buas kita tombak saja. Kadang ada babi hutan, kadang ular,” lanjutnya.
Pemberian Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) diharapkan menjadi titik awal menuju masyarakat yang lebih baik. Pemerintah telah mengalokasikan 100 paket LTSHE kepada warga Desa Waengapan.
“Sekarang kita sudah dapat ini lampu surya, kita tidak pakai lagi getah damar atau pelita. Lebih terang, dari jauh kita bisa lihat. Masyarakat juga rasa enak. Luar biasa sudah,” lanjutnya.
Cerita tentang sulitnya hidup tanpa penerangan yang memadai juga diungkapkan Doni Nurlatu, Siswa kelas enam di Sekolah Dasar Negeri Desa Waengapan. Selama ini, malam hari Doni belajar dengan penerangan yang berasal dari getah damar. Doni membutuhkan konsentrasi lebih untuk membaca atau menulis, karena penerangan yang seadanya. Jelaga yang dihasilkan dari pembakaran getah damar pun menyebabkan perih di mata.
Doni akhirnya memilih untuk belajar pada sore hari dibandingkan harus bermain bersama teman-temannya. Hal ini dilakukan agar bisa belajar lebih lama dari biasanya. “Dulu malam belajar satu jam. Kemarin-kemarin belajar sore saja, kalau malam tidak (belajar), mata perih,” terang Doni.
Kini Doni dan teman-teman sekolahnya dapat belajar lebih lama di malam hari dengan adanya penerangan LTSHE. “Terang sudah, enak kalau belajar,” ujar Doni sambil tersenyum
100 paket LTSHE yang diberikan oleh Pemerintah didistribusikan kepada penduduk di pusat desa sebanyak 75 paket, sementara 25 paket lainnya diberikan di Dusun Fatulaut.
Pemberian paket ke Dusun Fatulaut juga memiliki tantangan tersendiri. Menuju dusun ini membutuhkan waktu dua hari satu malam dengan berjalan kaki, belum ada akses untuk kendaraan bermotor, yang ada hanyalah jalan setapak.
Program LTSHE merupakan upaya Pemerintah diperuntukan bagi rumah pedesaan yang secara geografis dan distribusi penduduknya tersebar serta sulit dijangkau jaringan PLN.
LTSHE juga memiliki beberapa keunggulan, yaitu kekuatan terang mencapai 405 lumen atau setara dengan 40 watt pijar, yang dapat diatur tingkat keterangannya hingga 3 tingkat, apabila diatur dengan penerangan medium bisa tahan 2 hari, pengaturannya dapat dilakukan dengan remote control dan tombol di lampu. LTSHE juga mudah dilepas dari gantungannya, sehingga dapat dijadikan senter untuk warga yang akan beraktivitas di luar.