Jakarta, MinergyNews– Pasca diterbitkannya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen) ESDM nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik, Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Listrik, dan Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Baru Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, Kementerian ESDM cq Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan (Ditjen Gatrik) mengadakan sosialisasi Permen tersebut di Gedung Ditjen Gatrik, Jumat, 10 Februari 2017.
Sosialisasi ini dimaksudkan untuk meningkatkan investasi ketenagalistrikan serta mewujudkan energi berkeadilan. Acara ini dibuka oleh Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Jarman.
Dalam kesempatan tersebut, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) Maritje Hutapea mengatakan dengan diterbitkannya Permen 12 itu diharapkan pengembangan listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) tetap diminati oleh investor. “Sehingga target yang kami tetapkan bisa tercapai,”kata dia.
Maritje menjelaskan, hal – hal yang diatur dalam Permen 12 antara lain pola kerjasama pembangunan, kepemilikan, kepemilikan dan pengalihan (Build, Own, Operate, and Transfer/BOOT), lalu pembangunan jaringan tenaga listrik untuk evakuasi daya dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm), pembangkit listrik tenaga biogas (PLTBg),serta pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) ke titik sambung PT Perusahaan Listrik Negara (PLN persero) dapat dilakukan oleh PPL berdasarkan mekanisme yang saling menguntungkan (Business to Business).
“PT PLN (Persero) wajib melakukan uji tuntas (due diligence) atas kemampuan teknis dan finansial dari PPL,”lanjutnya.
Disamping itu, lanjut Maritje, diatur pula due diligence dapat dilakukan oleh pihak procurement agent yang ditunjuk oleh PT PLN (Persero), usulan pengembangan pembangkit tenaga listrik yang memanfaatkan Sumber Energi Terbarukan dari PPL kepada PLN harus dilengkapi dengan kajian kelayakan penyambungan sistem ketenagalistrikan serta mengutaman tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
“Komponen dalam negeri yang digunakan dalam sistem pembangkit tenaga listrik harus memenuhi Standar Nasional Indonesia di bidang ketenagalistrikan, Standar Internasional; atau Standar negara lain yang tidak bertentangan dengan ISO atau IEC,”tambah dia.
Persyaratan lain, kata Maritje, konstruksi pembangkit tenaga listrik juga harus memenuhi Standar Nasional Indonesia di bidang ketenagalistrikan, Standar Internasional, Standar negara lain yang tidak bertentangan dengan ISO atau IEC atau Standar PLN.
Untuk itu, menurut dia, perseroan dalam hal ini PLN wajib menginformasikan secara terbuka kondisi sistem ketenagalistrikan setempat yang siap menerima pembangkit tenaga listrik yang memanfaatkan sumber energi terbarukan, dan menginformasikan secara terbatas rata-rata biaya pokok penyedian (BPP) pembangkitan pada sistem ketenagalistrikan setempat kepada PPL yang berminat mengembangkan pembangkit tenaga listrik yang memanfaatkan sumber energi terbarukan.
“PLN juga wajib menyusun dan mempublikasikan standar dokumen pengadaan pembangkit tenaga listrik yang memanfaatkan Sumber Energi Terbarukan serta standar PJBL untuk masing-masing jenis pembangkit tenaga listrik yang memanfaatkan Sumber Energi Terbarukan, tetapi pokok-pokok PJBL mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan (Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2017),’tuturnya.
Terkait sanksi, lebih lanjut Maritje memaparkan, jika PPL terlambat dalam menyelesaikan pembangunan pembangkit tenaga listrik maka akan dikenakan sanksi dan/atau penalti yang diatur dalam Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2017 tentang PJBL, dimana disebutkan pemberian penalti apabila PPL terlambat menyelesaikan pembangunan; dan diberi reward apabila PPL menyelesaikan pembangunan lebih cepat dan ini atas permintaan PLN. “Sanksi dan/atau penalti dituangkan dalam PJBL,” pungkas Maritje.