Jakarta, MinergyNews– Pemerintah telah menetapkan paradigma baru pengembangan hulu migas di Indonesia yaitu kontrak bagi hasil gross split. Kontrak ini diyakini dapat mempercepat masa produksi 2-3 tahun dibandingkan menggunakan kontrak bagi hasil cost recovery.
Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar belum lama ini di Jakarta.
Menurut Arcandra, dengan menggunakan kontrak bentuk gross split, bisnis proses lebih sederhana dan akuntabel, sehingga waktu yang digunakan dalam pengembangan migas bisa lebih cepat dibandingkan kontrak dengan cost recovery.
Dirinya menjelaskan, waktu yang dihemat tersebut adalah waktu untuk penyusunan FEED (front end engineering, procurement and construction) hingga EPC (engineering, procurement and construction). Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) diperbolehkan menyusun sendiri tanpa harus melalui pembicaraan panjang dengan SKK Migas.
“Dengan demikian, sistem pengadaan (procurement) yang birokratis dan debat yang terjadi saat ini menjadi berkurang,” tuturnya.
Sejak tahun 2000-an, menurut Arcandra, dibutuhkan waktu sekitar 15-16 tahun bagi KKKS untuk mengembangkan migas di Indonesia, mulai dari pencarian minyak hingga produksi. Padahal di tahun 70-an, waktu yang dibutuhkan hanya sekitar 5 tahun.
“Meski tidak dapat kembali seperti tahun 70-an, namun dengan penghematan waktu ini diyakini dapat menekan pengeluaran KKKS sehingga iklim investasi akan lebih menarik,” tandasnya. (us)