Sebagaimana halnya revolusi industri, kebutuhan manusia akan energi juga telah mendorong pesatnya perkembangan di bidang ini, tak terkecuali di Indonesia. Bahkan, Mantan Menteri Pertambangan pada Era 1978-1988, Subroto menyebut, perkembangan energi dunia kini telah memasuki Paradigma Energi 3.0 dan Indonesia tengah bergerak ke arah itu.
“Sekarang ini kita memasuki Paradigma Energi 3.0. Apa artinya? Paradigma energi 3.0 ini paling utama ditujukan untuk menghindari pemanasan global yang dapat memicu perubahan iklim,” ungkap mantan Sekjen OPEC tahun 1988-1994 tersebut di Jakarta.
Menurut Subroto, perkembangan teknologi saat ini memicu teknokrat dunia mengembangkan teknologi baru terbarukan menggantikan keberadaan energi fosil. “Elektrifikasi, pengembangan energi baru terbarukan, dan efisiensi energi, itu tantangan yang kita hadapi ke depan,” lanjutnya.
Ia menilai, sebagian besar masyarakat Indonesia masih melihat energi dalam paradigma energi 2.0, yakni paradigma yang menempatkan energi fosil masih menjadi primadona. “Pada waktu 2.0 itu yang paling utama energi berasal dari energi fosil, akan tetapi tenaga fosil ini kenyataannya mengandung emisi yang menyumbang gas rumah kaca (GRK) dan meningkatkan panas global, sehingga harus ada penggantinya,” ujar Subroto.
Meskipun begitu, jelas Subroto, paradigma energi 2.0 masih lebih maju dibanding paradigma 1.0. “Pada waktu 1.0 itu energi digunakan sebagai pembiayaan negara. Akan tetapi, sejak minyak bumi jumlahnya tidak banyak lagi menjadi sumber pembiayaan, maka lahir pemikiran energi sebagai sumber pembangunan, saat itulah paradigma energi 2.0 lahir. Namun sekarang dunia telah bergerak ke arah bagaimana menjaga temperatur dunia tidak boleh naik lebih dari dua derajat celcius. Ini saatnya kita menuju paradigma energi 3.0,” tegasnya.