Jakarta, MinergyNews– Skema kontrak kerja sama gross split yang digunakan sejak tahun 2017, berhasil menghemat biaya cost recovery. Untuk tahun 2019, penghematannya diperkirakan sebesar US$ 1,66 miliar, lebih tinggi dibandingkan tahun 2018 yang mencapai US$ 0,9 miliar. Sedangkan tahun 2020 mendatang, penghematan cost recovery diperkirakan sebesar US$ 1,78 miliar.
“Tahun 2019, kita bisa menghemat cost recoverysekitar US$ 0,9 miliar lewat gross split. Tahun 2019, kita bisa menghemat US$ 1,66 miliar. Insya Allah tahun depan, kita bisa hemat cost recoverydiperkirakan sebesar US$ 1,78 miliar,” kata Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar di Jakarta, akhir pekan lalu.
Penghematan ini menyebabkan harga gas di hulu dapat lebih kompetitif. “Kita berusaha agar hulunya (gas) juga ikut merencanakan program yang lebih kompetitif sehingga harga bisa ditekan. Tidak serendah mungkin, tapi sekompetitif mungkin,” ujar Wamen ESDM.
Selain penghematan melalui skema gross split, penurunan harga gas dapat terealisasi di lapangan yang belum berproduksi. Sebaliknya pada lapangan yang sudah berproduksi, penurunan harga gas sulit dilakukan. Wamen mencontohkan, harga gas di Lapangan Jambaran Tiung Biru. Proyek yang sempat terhenti ini, akhirnya dapat berjalan lagi setelah dilakukan pemotongan capexsebesar US$ 500 juta, sehingga harganya dapat diturunkan dari US$ 9 per mmbtu menjadi US$ 7,6 per mmbtu.
“Untuk beberapa lapangan yang perlu di-develop, insya Allah kita masih ada ruang untuk menurunkannya. Tapi bagi hulu (gas) yang sudah berproduksi, (penurunan harga) kadang-kadang ini agak susah,” kata Arcandra.