Jakarta, MinergyNews– Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mendorong berbagai pengembangan teknologi dan inovasi sektor ESDM dengan melibatkan generasi milenial. Pentingnya keterlibatan anak muda guna tak lepas dalam upaya menjawab tantangan pencapaian target bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dan mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat lagi, yang salah satunya dilakukan melalui Program Kampus Merdeka GERILYA (Gerakan Inisiatif Listrik Tenaga Surya) yang sudah berjalan selama 2 semester.
“Saya pikir ini saatnya kita dorong program seperti ini untuk menjadi kurikulum wajib di perguruan tinggi,” ungkap Tenaga Ahli Menteri ESDM Bidang Ketenagalistrikan Sripeni Inten Cahyani, membuka kegiatan Saatnya Anak Muda Tahu Energi Terbarukan – GERILYA (SATSET GERILYA) Series, kolaborasi Kementerian ESDM dengan Institute for Essential Services Reform (IESR), di Gedung Chairul Saleh Jakarta Sabtu (18/6).
Lebih jauh, Inten menyinggung potensi energi lokal sebagai basis ketahanan energi di masa mendatang. “Kita ini diberi energi surya gratis. Apalagi data Global Horizontal Irradiation dari World Bank Group ada wilayah yang berwarna kuning kemerah-merahan. Artinya iradiasi mataharinya tinggi, namun produksi pemanfaatannya menjadi tenaga listrik masih belum optimal. Ini peluang kita,” jelasnya.
Pemanfaatan tenaga surya, sambung tenaga ahli yang akrab dipanggil Inten tersebut, sangat terbuka lebar mengingat masih rendahnya konsumsi listrik per kapita. Konsumsi listrik Indonesia mencapai 1.039 kilowatt jam (kWh) di tahun 2019. Angka ini jauh Vietnam (2.690 kWh), Thailand (2.636 kWh), bahkan Malaysia (5.097 kWh). “Dilihat dari sini, dengan jumlah penduduk dan merket yang besar, kita ada peluang konsumsi listriknya ditingkatkan. Tapi ingat, kita jangan jadi penonton, harus jadi tuan rumah. Ini dimulai dari (kontribusi) anak muda,” tegas Inten.
Secara khusus, Inten mengomparasikan pemanfaatan energi surya di Indonesia dengan Vietnam. Pada tahun 2019, Vietnam telah memproduksi listrik dari tenaga surya sebesar 5,9 Terra Watt Hour (TWh), sementara Indonesia kurang dari 0,01 TWh. Angka ini sejalan dengan pemanfaatan hidro Vietnam yang juga tinggi, yaitu 67,4 TWh dibanding Indonesia hanya 16,5 TWh. “Ini tugas bersama. Tidak bisa menggantungkan Kementerian ESDM saja, termasuk institusi terkait lainnya dengan tetap mempertimbangkan supply dan demand,” jelasnya.
Kondisi tersebut merupakan gambaran bagaimana generasi milenial turut serta terlibat dalam meningkatkan pemanfaatan sektor EBT secara modern. Pemahaman akademis juga dibutuhkan untuk memperkuat implementasi pembangunan PLTS di lapangan. “Tidak harus melakukan sesuatu yang besar untuk turut membangun, tapi bisa dilakukan dengan hal – hal kecil. Pahami dengan ilmu yang besar dan ikutilah gerakan-gerakan secara rasional membangun EBT,” ungkap Inten.
Ia mengatakan program Gerilya yang berbasis Enviromental, Social and Governance (ESG) berbalut edukasi merupakan salah satu cara yang mampu memberikan dampak positif bagi perubahan sektor ESDM yang lebih baik. “Dengan mengikuti Gerilya, menurut saya adalah satu step, Anda telah memberikan kontribusi,” pesan Inten.
Garap PLTS Terapung
Pemanfaatan tenaga surya harus dikombinasikan dengan sumber energi lain, seperti hidro. Menurut Inten, kondisi ini diharapkan dapat menopang intermitensi dari tenaga surya. “Hidro ini bisa dimanfaatkan untuk mengimbangi intermitensi dari tenaga surya,” kata Inten lagi.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Bendungan dan Danau Ditjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR Airlangga Mardjono membeberkan potensi sumber daya air di Indonesia sebesar 2,78 triliun m3 per tahun dimana air yang dapat dimanfaatkan sebesar 691,31 miliar m3 per tahun. “Air yang termanfaatkan sebesar 222,59 miliar m3 per tahun. Kita punya potensi air yang belum dimanfaatkan, yaitu 468 miliar m3 per tahun,” ungkap Airlangga.
Untuk kapasitas listrik yang dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Indonesia sebesar 8,17% dari keseluruhan jenis pembangkit di Indonesia. “Total sudah ada 5.879 MW listrik yang dibangkitkan dari semua PLTA di Indonesia,” jelas Airlangga.
Konsep pengembangan EBT bersasis hibrid, sambung Airlangga, yaitu PLTS dan PLTA juga tergantung dari jumlah bendungan. Saat ini, Indonesia memiliki 244 bendungan. “Potensi PLTA yang masih dikembangankan yaitu, 398,41 MW dimana pemanfaatan area ruang dan genangan waduk diizinkan melalui regulasi Peraturan Menteri PUPR No 6/2020,” terang Airlangga.
Selain Airlangga, acara yang dihadiri langsung oleh lebih dari 100 milenial Jakarta tersebut mengundang pembicara, Dimas Kaharudin, Direktur Operasi PT Pembangkitan Jawa Bali Masdar Solar Energy (PMSE) dan Daniel Sutanto dari PT Sembcorp Energy Indonesia yang memberikan pengetahuan kepada anak muda mengenai teknis PLTS Aplikatif, khususnya PLTS terapung dan perkembangannya baik di Indonesia maupun di dunia.