Jakarta, MinergyNews– Pengurus KADIN (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) menyatakan tidak akan membayar selisih harga akibat adanya kenaikan harga gas yang dijual PGN sesuai Surat Edaran (SE) No.037802.S/PP.01.01/BGP/2019 tertanggal 31 Juli 2019 (Jakarta, 25/9/2019).
Surat yang berisi ketentuan akan adanya penaikan harga gas sejak 1 Oktober 2019 tersebut memang sejalan dengan ketentuan yang ada dalam Permen ESDM No.58/2017 tentang Harga Jual Gas Melalui Pipa pada Kegiatan Usaha Hilir Migas. Sehingga dapat dikatakan PGN hanya menjalankan ketentuan yang telah diterbitkan oleh pemerintah melalui Kementrian ESDM.
Sebaliknya, keberatan KADIN antara lain merujuk pada Perpres No.40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Salah satu ketentuan dalam perpres adalah harga gas ditetapkan oleh pemerintah melalui Menteri ESDM. Dengan Perpres tersebut, KADIN berharap akan terjadi penurunan harga gas bumi, meskipun tidak harus mencapai US 6 per MMBTU seperti yang pernah dicanangkan Presiden Jokowi. Namun setelah 3 tahun berlalu harapan tersebut tak kunjung terwujud, dan bahkan harga gas justru direncanakan akan naik. Bagaimana sebaiknya jalan keluar yang diambil?
Pasal 16 Permen ESDM No.16/2016 mengatur bahwa harga gas bumi ditetapkan dengan mempertimbangkan keekonomian lapangan, harga gas domestik dan internasional serta nilai tambah pemanfaatan gas domestik. Selain ketiga faktor tersebut, untuk kebutuhan domestik, harga gas ditetapkan dengan menambah pula pertimbangan aspek-aspek kemampuan daya beli konsumen dalam negeri, dukungan terhadap program penyediaan gas bagi transportasi dan rumah tangga dan pelanggan kecil, serta harga bahan bakar atau energi substitusi.
Adapun dalam Perpres No.40/2016 (Pasal 3) yang dirujuk oleh KADIN, tercantum pula ketentuan bahwa dalam hal harga gas tidak dapat memenuhi keekonomian industri pengguna gas dan harga gas lebih tinggi dari US$ 6 per MMBTU, Menteri dapat menetapkan harga gas bumi tertentu. Penetapan harga gas tertentu tersebut dibuat dengan mempertimbangkan ketersediaan gas dan pertumbuhan ekonomi nasional melalui pemanfaatan gas dalam rangka meningkatkan nilai tambah yang dapat diberikan oleh industri pengguna gas bumi.
Jika melihat pada kondisi faktual di lapangan, terutama juga dikaitkan dengan profil industri migas di Indonesia, sambil merujuk pada ketentuan-ketentuan yang ada dalam Perpres No.40/2016 dan Permen ESDM No.16/2016, maka tampaknya harga gas yang rendah seperti yang diharapkan oleh KADIN akan sulit terwujud. Apalagi jika seluruh peraturan tampaknya cukup lengkap untuk mendukung pemberlakuan kenaikan harga yang akan diterapkan oleh PGN. Dengan demikian dunia industri mau tidak mau harus menerima rencana kenaikan tersebut, kecuali jika pemerintah berkenan atau proaktif membuat adanya solusi win-win.
Faktanya harga gas untuk sektor industri di Indonesia lebih mahal sekitar US$ 1-3 per MMBTU dibanding harga gas di Malaysia, Thailand dan Vietnam. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap turunnya daya saing produksi industri kita. Selain itu, kontribusi sektor industri cukup signifikan terhadap PDB dan pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam kondisi perekonomian nasional dan global yang mengarah pada resesi akhir-akhir ini, biaya energi yang tinggi bukan saja mengurangi daya saing, tetapi juga dapat membuat sejumlah perusahaan gulung tikar.
Karena itu, guna mendapatkan solusi win-win yang diharapkan, pemerintah perlu melihat kembali mata rantai industri gas nasional secara menyeluruh. Selanjutnya, dapat diambil langkah-langkah untuk memungkinkan terjadinya penurunan harga. Selain itu, dalam kondisi ekonomi nasional yang tampaknya semakin suram ke depan, dibanding bersikap konfrontatif atau ancam-mengancam antar komponen nasional, IRESS berharap pemerintah dapat melakukan pembahasan dan musyawarah terbuka yang melibatkan KADIN dan seluruh lembaga negara/swasta terkait guna mencapai kesepakatan.
Musyawarah harus dilakukan dengan target tertentu dalam waktu terbatas, dan masing-masing pihak harus siap untuk menawarkan langkah-langkah kompromistis bagi kepentingan bersama.
Salah satu langkah solutif yang dapat diambil adalah kesediaan pemerintah untuk mengurangi government take di sisi hulu migas. Subsidi pemerintah seperti ini lumrah diambil banyak negara di dunia guna memenangkan persaingan.
Faktanya, walaupun penerimaan negara berkurang dari sektor hulu, tambahan yang diperoleh dari pajak dan perputaran ekonomi akan dapat meningkat lebih besar. Hal lain yang dapat dilakukan pemerintah adalah jaminan tentang akan hilang atau berkurangnya ekonomi biaya tinggi akibat pungutan perizinan dan pungli. Pemerintah pun harus mengeluarkan berbagai kebijakan tarif (tambahan) terhadap berbagai barang impor guna melindungi industri domestik.
Di sisi BUMN, PGN dapat pula mengurangi harga jual gas melalui penawaran berbagai insentif dan penambahan usia teknis jaringan pipa/perangkat guna mengurangi biaya depresiasi.
PGN pun tetap harus melakukan berbagai efisiensi di berbagai lini sesuai prinsip good corporate governance (GCG). Namun semua hal tersebut harus dilakukan dengan tetap menjamin survival PGN sebagai pengemban tugas konstitusional pengelolaan bisnis hilir gas nasional, dan juga tetap harus tunduk pada berbagai ketentuan dalam UU BUMN No.19/2003.
Pada sisi industri, kita berharap aspek-aspek transparansi, GCG, kredibilitas dan rasa kebersamaan sesama “anak bangsa” tetap menjadi pegangan. Jangan sampai terjadi adanya “cost transfer” yang menjadikan harga gas sebagai salah satu faktor yang h
arus diburu sebagai “korban” guna meraih keuntungan bisnis. Dunia usaha, sektor industri dan BUMN harus hidup secara simbiosis mutualisme guna memenangkan persaingan dan kejayaan nasional.
Oleh :
Marwan Batubara, IRESS