Jakarta, MinergyNews– Sejumlah pihak menilai kebijakan relaksasi ekspor mineral sebagai cermin atas regulasi yang tidak konsisten yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perubahan regulasi terkait larangan ekspor mineral mentah yang sudah dijalankan sejak Januari 2014, kembali menggarisbawahi persepsi negatif terhadap inkonsistensi regulasi dan iklim investasi pertambangan di Indonesia.
Pakar hukum pertambangan dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Prof Abrar Saleng, mengungkapkan, kekayaan mineral yang tidak terbatas harusnya memberikan manfaat nilai tambah yang maksimal melalui pengolahan dan pemurnian.
Menurut Abrar, sudah ada kemajuan dalam hal pengolahan dan pemurnian melalui pembangunan smelter. Perubahan berbagai peraturan dan perundang-undangan di sektor pertambangan harusnya secara positif bisa dilihat sebagai upaya menjadikan Indonesia sebagai negara industri pertambangan terbesar dunia.
“Namun, kelihatannya pemerintah belum siap dan tidak konsisten dalam menetapkan kebijakan pertambangan. Padahal investasi dan industri pertambangan sangat membutuhkan konsistensi, kepastian hukum, serta perlindungan hukum dari pemerintah sebagai regulator dan pengayom. Pemerintah malah membuka keran ekspor. Ini perubahan kebijakan yang berbanding terbalik dan tentu saja tidak konsisten,” ujarnya seperti yang dilansir beritasatu.
Berdampak Terhadap Pasokan
Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamat Konstitusi, Ahmad Redi, mengatakan, pihaknya telah melaporkan adanya dugaan mala-administrasi terkait dibukanya kembali ekspor mineral mentah untuk perusahaan tambang. Pihaknya, berharap akan ada audit menyeluruh terkait motivasi, tujuan, termasuk kerugian-kerugian yang dapat ditimbulkan dari perubahan kebijakan yang bertentangan dengan Undang-undang (UU) Pertambangan tersebut.
Anggota Komisi VII DPR, Satya W Yudha, mengatakan, ekspor mineral logam yang dikategorikan kadar rendah dapat berdampak pada keberlangsungan pasokan nikel untuk pabrik pengolahan atau peleburan dalam negeri. Selain dari kebijakan ini, Pemerintah juga perlu memperhatikan keekonomian pembangunan smelter sebagai dampak relaksasi ekspor mineral kadar rendah.
“Pelonggaran ini mengandaikan tingkat pengawasan ekspor juga harus semakin kuat. Karena dapat berpotensi ekspor mineral kadar rendah ini tidak mengikuti persyaratan mulai dari membayar bea keluar dan wajib membangun smelter,” katanya.
Berdasarkan riset yang dikeluarkan LPEM UI pada akhir tahun lalu, disebutkan bahwa kebijakan larangan ekspor mineral mentah yang berlaku sejak Januari 2014 memicu sejumlah dampak positif di antaranya turunnya praktik pertambangan ilegal, mendorong perkembangan industri pengolahan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi laju degradasi lingkungan.
Larangan ekspor mineral mentah termasuk bauksit yang sudah berlaku selama dua tahun dimaksudkan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional. Manfaat tersebut telah terasa, kendati belum maksimal, karena kebijakan tersebut memberikan mata rantai yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi secara makro maupun implikasi spefisiknya terhadap pengurangan praktik pertambangan ilegal, perusakkan lingkungan, dan meningkatnya multiplier efek dari bertumbuhnya industri smelter.
Riset tersebut juga melangsir ancaman terhadap degradasi lingkungan dan ekspor illegal karena izin ekspor yang dibuka menyebabkan ekploitasi besar-besaran mineral mentah tanpa memperhatikan daya dukung lahan dan ekosistem, serta penumpukkan mineral mentah Indonesia secara ilegal ke negara-negara tujuan ekspor.