Jakarta, MinergyNews– Publish What You Pay (PWYP) Indonesia meminta Pemerintah Indonesia konsisten dengan kebijakan pengendalian produksi batubara, sebagaimana dimandatkan oleh Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang baru–baru ini juga diperkuat dengan penerbitan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Mineral dan Batubara. Dimana dalam Permen tersebut diatur mengenai wewenang pemerintah untuk melakukan kebijakan pengendalian produksi batubara.
Dalam RPJMN Tahun 2015–2019, target produksi tahun ini hanya 406 juta ton, dengan skenario yang harus diturunkan terus hingga hanya 400 juta ton di tahun 2019. Tapi jika melihat produksi semester satu tahun ini yang sudah mencapai 163,44 juta ton, gelagatnya akhir tahun bakal lebih dari 485 juta ton (target RKAB). Padahal Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) juga sudah sejalan dengan RPJMN yang memasang skenario pembatasan produksi batubara , mengingat dampak lingkungan (emisi karbon/gas rumah kaca dan penebangan hutan) serta potensi dampak kesehatan yang ditimbulkannya.
Peneliti Tata Kelola Pertambangan PWYP Indonesia, Rizky Ananda,menyesalkan inkonsistensi pemerintah dalam mengendalikan produksi batubara tersebut. Padahal, selain RPJMN dan RUEN, Permen ESDM 25/2018 menegaskan kembali kewenangan Pemerintah untuk melaksanakan kebijakan pengendalian produksi, seharusnya Pemerintah dapat menetapkan batas produksi batubara yang harus dipatuhi oleh pelaku usaha.
Lebih lanjut Rizky mengkritik pemerintah selama ini justru terbelenggu oleh mekanisme yang keliru, yakni menentukan target produksi nasional berdasarkan usulan perusahaan dalam RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya) baik PKP2B maupun IUP di pusat maupun di daerah.
Rizky menegaskan “Seharusnya Pemerintah menetapkan angka produksi nasional per tahunnya sesuai dengan skenario perencanaan kebijakan, lalu diturunkan ke batasan produksi bagi tiap-tiap perusahaan, jadi semestinya dengan mekanisme top down bukan bottom-up.
“Ini mengindikasikan bahwa Pemerintah cenderung disetir oleh kepentingan pasar yang memburu pendapatan dari perdagangan komoditas, bukan kepentingan strategis pembangunan yang sudah direncanakan dalam RPJMN” imbuh Rizky.