Jakarta, MinergyNews– Publish What You Pay (PWYP) Indonesia meminta adanya investigasi lebih lanjut dan respon cepat tanggap dalam penanggulangan tumpahan minyak di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. Pihak berwenang didesak untuk menelusuri lebih lanjut penyebab tumpahan minyak tersebut karena termasuk bentuk kecelakaan tingkat fatal di sektor minyak dan gas bumi (migas).
Koalisi masyarakat sipil untuk tata kelola industri ekstraktif yang baik khususnya migas dan tambang ini juga mendesak Pemerintah untuk mempublikasikan hasil investigasi ke publik. Sementara Pertamina, sebagai pihak yang bertanggung jawab, dituntut melakukan ganti rugi bagi masyarakat terdampak di sekitar perairan Balikpapan.
“Selain mendukung upaya investigasi lebih lanjut, kami juga mendukung upaya cepat tanggap yang telah dan tengah dilakukan oleh instansi terkait seperti KSOP yang bekerjasama dengan instansi penanggulangan di daerah, termasuk Pertamina dan Tim Satgas dari Kementerian Lingkungan Hidup,” ujar Koordinator PWYP Indonesia, Maryati Abdullah dalam keterangan tertulisnya di Jakarta.
Maryati menegaskan, hasil penyelidikan pun perlu disampaikan terhadap publik, mengingat banyak pihak yang dirugikan akibat peristiwa ini. Selain itu, peristiwa tumpahan minyak ini menjadi momentum untuk mengevaluasi aktivitas di Teluk Balikpapan, sehubungan di jalur tersebut banyak aktivitas pengangkutan migas dan batubara.
Sesuai dengan asas polluter pays principle, maka yang harus bertangung jawab untuk melakukan penanggulangan, pemulihan, pembiayaan dan ganti rugi adalah pihak yang karena kegiatannya telah mengakibatkan terjadinya tumpahan minyak di laut. Dalam hal ini adalah PT Pertamina (Persero) dan pihak-pihak lain hasil penyelidikan nantinya. Tanggung jawab mutlak atas biaya tersebut sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut.
Peraturan itu diterbitkan sebagai bentuk komitmen Pemerintah dalam meratifikasi konvensi PBB tentang hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea–UNCLOS). Kebijakan ini mengatur tindakan secara cepat, tepat, dan terkoordinasi dalam penanggulangan tumpahan minyak di laut dan penanggulangan dampak lingkungannya.
Peristiwa tumpahan minyak di Teluk Balikpapan yang terjadi sejak Sabtu lalu (31/3) merupakan persoalan serius yang memerlukan penanggulangan secara cepat, tepat, dan terkoordinasi dengan baik. Pasalnya, tumpahan minyak tersebut ditengarai menyulut kebakaran kapal speed MV. Ever Judger berbendera Panama dengan muatan batubara. Meski seluruh awak yang berkewarganegaan Cina ini dapat diselamatkan, namun terdapat 5 korban jiwa yang merupakan nelayan dan masyarakat yang sedang berada di sekitar perairan dan kapal yang terbakar tersebut. Sejak kejadian tersebut, ratusan nelayan yang mencari ikan di sekitar teluk telah menghentikan aktivitasnya.
Berdasarkan hasil penyelidikan polisi, tumpahan minyak tersebut merupakan minyak mentah yang bersumber dari pipa milik Pertamina di bawah laut dari arah Lawe Lawe menuju/dari kilang minyak di Balikpapan. Pipa bawah laut yang sudah berusia 20 tahun itu terseret dan putus sehingga menyebabkan tumpahan minyak ke perairan laut. Pihak Pertamina pun mengoreksi pernyataan sebelumnya yang sempat mengatakan tumpahan tersebut merupakan bahan bakar kapal (Marine Fuel Oil–MFO).
PWYP Indonesia telah mendesak pihak berwenang untuk menelusuri lebih lanjut penyebab dari tumpahan minyak tersebut. Karena peristiwa ini termasuk bentuk kecelakaan tingkat fatal di sektor migas. Apakah terdapat aspek kelalain yang dilakukan perusahaan yang berkaitan dengan pelaksanaan standar keselamatan dan keamanan operasi pengangkutan minyak melalui pipa? Apa penyebab pasti lepasnya dan terseretnya pipa yang mengakibatkan tumpahnya minyak tersebut?
“Prosedur pemeliharaan dan pengecekan pipa secara berkala semestinya telah menjadi standar prosedur operasi. Sementara upaya perbaikan jika ditemukan adanya tanda-tanda kerusakan merupakan bentuk pencegahan resiko yang semestinya dilakukan,” ujar Maryati.