Jakarta, MinergyNews– Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2017 sebagai revisi PP Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pph di Bidang Usaha Migas. Pemerintah optimis aturan ini dapat menggairahkan kembali industri migas Indonesia yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami penurunan.
Sekretaris Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM Susyanto dalam Workshop dengan media mengenai PP No. 27 Tahun 2017 di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (19/7), mengatakan, aturan ini memiliki beberapa poin penting yang dapat meningkatkan iklim investasi hulu migas yaitu pertama, adanya Insentif perpajakan (periode eksplorasi dan eksploitasi migas), antara lain pembebasan bea masuk, PPN, PPnBM, PPh22 impor (tidak dipungut) dan PBB (pengurangan 100%). Khusus untuk periode eksploitasi diberikan berdasarkan pertimbangan keekonomian.
Selain itu cost atas sharing facilities dikecualikan dari PPh dan tidak dipungut PPN, First Tranche Petroleum (FTP) juga tidak kena pajak, serta pengeluaran alokasi biaya tidak langsung kantor pusat bukan menjadi objek PPh dan PPN.
Kedua, perubahan prinsip field basis menjadi block basis. Artinya biaya operasi dari suatu field (lapangan) migas bisa di-reimburst (cost recovery) dari lapangan migas lainnya yang sudah berproduksi, selama masih dalam satu blok.
Ketiga adalah DMO holiday dan depresiasi dipercepat. Biasanya kontraktor wajib menjual minyak bagiannya kepada negara dengan harga 10% dari harga minyak. Tetapi dengan DMO holiday, harga minyak yang dijual kepada negara bisa tetap 100%, jadi pasti lebih menarik bagi kontraktor. “DMO holiday bisa dapat, lalu depresiasi dipercepat juga dapat,” katanya.
Poin keempat, pembagian besaran bagi hasil yang lebih dinamis (sliding scale split) pada kontrak kerja sama. Bagi hasil sliding scale mempertimbangkan, harga minyak, gas bumi tingkat produksi, dan penerimaan.
Kelima, kepastian investment credit. Kontraktor akan mendapat tambahan pengembalian biaya modal untuk pengembangan lapangan migas.
Terakhir adalah kepastian atas biaya apa saja yang bisa di cost recovery dan tidak boleh di cost recovery. Misalnya, biaya pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat (CSR) pada masa eksplorasi dan eksploitasi boleh di cost recovery.
Susyanto melanjutkan, poin-poin penting tersebut merupakan respons Pemerintah atas keluhan investor.