Jakarta, MinergyNews– Pemerintah akhirnya menerbitkan kebijakan yang dinanti berbagai pihak, yaitu Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan (Road Map) Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan. Kebijakan ini diharapkan dapat menjadi payung hukum dan landasan dalam percepatan pensiun dini PLTU, namun sejumlah substansi beleid itu perlu dikritisi agar transisi energi tidak berjalan setengah hati.
Sartika Nur Shalati, Policy Strategist CERAH, menilai penerbitan Permen ESDM 10/2025 patut diapresiasi lantaran merupakan langkah maju transisi energi Indonesia. Namun, sejumlah hal masih menjadi catatan dan perlu segera diperbaiki pemerintah. Salah satunya, sebagai peta jalan transisi energi, regulasi ini justru belum merinci total kapasitas dan PLTU mana saja yang akan dipensiunkan lebih cepat.
Permen 10/2025 mensyaratkan dilakukannya kajian dan menerapkan sederet kriteria penilaian untuk menentukan PLTU yang akan disuntik mati. Penilaian tersebut di antaranya kapasitas dan usia pembangkit, utilisasi, emisi gas rumah kaca PLTU, nilai tambah ekonomi, serta ketersediaan dukungan pendanaan dan dukungan teknologi dalam negeri dan luar negeri. Selain itu, penghentian operasi PLTU juga harus mempertimbangkan keandalan sistem ketenagalistrikan, dampak kenaikan biaya pokok penyediaan tenaga listrik terhadap tarif tenaga listrik, dan penerapan aspek Transisi Energi berkeadilan.
“Artinya, pensiun dini PLTU bersifat conditional karena akan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek di atas. Permen ESDM ini seharusnya memuat daftar PLTU yang akan dipensiunkan, mengingat sudah banyak kajian yang dilakukan terkait PLTU yang dapat dipensiunkan lebih awal,” kata Sartika.
Tak hanya itu, Permen 10/2025 sejalan dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang memproyeksikan penghentian bertahap (phase down) operasional PLTU. Padahal, saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada November 2024, Presiden Prabowo Subianto menyatakan komitmen penghentian menyeluruh (phase out) PLTU dalam 15 tahun atau pada 2040. Artinya, Permen 10/2025 tidak mencantumkan tenggat waktu kapan seluruh PLTU berhenti beroperasi.
Wicaksono Gitawan, Policy Strategist CERAH, menambahkan kriteria yang dipakai dalam pensiun dini PLTU seharusnya bisa lebih jelas lagi. Pasal 12 beleid tersebut misalnya, belum mengatur secara jelas langkah yang akan dilakukan jika kajian yang diwajibkan untuk proses percepatan pensiun dini PLTU melebih batas waktu enam bulan. Padahal, molornya pengerjaan kajian akan berdampak pada keseluruhan proses dan berisiko menunda jadwal penghentian operasi PLTU.
“Selain itu, aspek Transisi Energi Berkeadilan yang ditonjolkan dalam Pasal 11 belum dielaborasi lebih lanjut. Dengan bobot hanya sebesar 10,1% dalam kriteria hasil analytical hierarchy process untuk pemilihan PLTU, pemerintah perlu menjelaskan kerangka Transisi Energi Berkeadilan seperti apa yang digunakan,” Wicaksono menjelaskan.
Berbagai teknologi transisi energi yang dipilih pemerintah dalam Permen 10/2025 juga justru bertentangan dengan cita-cita pemangkasan emisi. Permen tersebut masih membuka peluang retrofit PLTU dengan berbagai teknologi, seperti pembakaran bersama batu bara dengan biomassa, hidrogen, dan amonia (co-firing) hingga penangkapan karbon (carbon capture and storage/CCS).
Langkah tersebut mengindikasikan PLTU masih akan tetap beroperasi dan membakar batu bara hingga 2060, yang berarti tetap akan menghasilkan emisi karbon. Selain itu, secara global, pemasangan CCS pada PLTU batu bara masih sedikit dan sebagian berakhir gagal karena tidak dapat menyerap karbon hingga 100%.
“Dengan tujuan menurunkan gas rumah kaca (GRK), proyeksi sistem ketenagalistrikan dalam Permen 10/2025 masih sama dengan apa yang ada dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024, yakni masih mempromosikan solusi palsu. Langkah ini berisiko bagi Indonesia, lantaran berpotensi gagal memangkas emisi dan dapat terjebak dalam dalam krisis iklim yang lebih buruk,” tutur Wicaksono.
Melalui Permen 10/2025, pemerintah juga justru memilih teknologi berbiaya mahal dalam transisi energi, seperti nuklir dan CCS. Langkah ini dapat membebani keuangan negara melalui skema subsidi, ataupun berpotensi memberatkan rakyat dengan meningkatnya tarif listrik.
Sartika menjelaskan, melalui Undang-Undang Cipta Kerja dan UU Ketenaganukliran, pengelolaan dan tempat penyimpanan limbah nuklir menjadi tanggung jawab negara. Padahal, biaya penyimpanan limbah ini cukup tinggi mencapai Rp2,2 miliar hingga Rp1,3 triliun, tergantung jenis penyimpanan yang dipilih apakah permanen atau sementara. Kemudian, dengan asumsi seluruh PLTU berkapasitas total 54,7 gigawatt (GW) dipasang CCS, diperkirakan akan ada potensi tambahan biaya sebesar US$17 miliar (Rp283,4 triliun) per tahun, yang berdampak pada biaya produksi listrik PLTU.
“Salah satu indikator penilaian melakukan suntik mati PLTU adalah pertimbangan tentang dampak kenaikan biaya pokok penyediaan tenaga listrik terhadap tarif tenaga listrik. Namun, dengan pemanfaatan energi baru ke dalam sektor ketenagalistrikan, justru membutuhkan biaya yang sangat mahal dan berpotensi meningkatkan biaya pokok penyediaan tenaga listrik,” tegas Sartika.
Di sisi lain, lanjutnya, biaya instalasi (levelized cost of electricity/LCOE) energi terbarukan sudah semakin murah. Berdasarkan kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), LCOE PLTU berkisar US$4,5-11,9 per kilowatt hour (kWh) belum dengan penambahan CCS, sedangkan LCOE panel surya berkisar US$ 4,1-10,1/kWh. Artinya, jika ditambah teknologi CCS, maka biaya PLTU akan semakin besar.