Jakarta, MinergyNews– PT PLN (Persero) terus berupaya mempercepat pembangunan pembangkit 35.000 MW di sisi pembiayaan proyek. Salah satu caranya dengan memanfaatkan pendanaan dari lembaga-lembaga keuangan melalui skema Export Credit Agency (ECA).
Pembangunan pembangkit listrik PLTG Mobile/Mobile Power Plant (MPP) total 500 Megawatt (MW), yang merupakan bagian dari program 35.000 MW, mendapatkan pendanaan dari lembaga keuangan negara Kanada dan Hungaria dengan total dana sebesar USD 435 juta.
Direktur Keuangan PLN Sarwono menandatangani perjanjian fasilitas pendanaan tersebut dengan Export Development Canada (EDC) dan Hungarian Export-Import Bank (HEXIM) di PLN Kantor Pusat, Jakarta, pada Jumat (2/12).
Pendanaan untuk proyek MPP 500 MW ini menggunakan skema Export Credit Agency (ECA) tanpa jaminan Pemerintah Indonesia dengan tingkat suku bunga yang sangat kompetitif dan fixed sehingga meminimalisir risiko fluktuasi tingkat suku bunga pinjaman yang sangat volatile. Pinjaman ini merupakan pinjaman jangka panjang dengan masa repayment selama 12 tahun.
Sarwono mengatakan bahwa skema pendanaan ECA tanpa jaminan pemerintah ini merupakan salah satu alternatif pendanaan yang dilakukan PLN dalam portofolio pinjamannya selain yang dapat diperoleh dari pasar obligasi ataupun pendanaan dari lembaga perbankan serta lembaga kreditur baik bilateral maupun multilateral.
Lebih lanjut Sarwono menyatakan bahwa pendanaan dari kedua kreditur untuk program 35.000 MW merupakan bukti komitmen PLN dalam upaya menyelesaikan tugasnya menyediakan listrik bagi masyarakat yang saat ini didaerahnya masih mengalami kekurangan pasokan.
“Yang tidak kalah penting juga yaitu PLN sebagai agen pembangunan mendukung penyediaan pasokan listrik yang memadai untuk mendukung kebutuhan akan listrik sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi daerah serta nasional,” jelas Sarwono
Adapun pembangunan Mobile Power Plant itu sendiri tersebar di 8 lokasi yaitu Lampung (4 x 25 MW), Pontianak (4 x 25 MW), Bangka (2 x 25 MW), Riau (3 x 25 MW), Belitung (25 MW), Ampenan (2 x 25 MW), Paya Pasir (3 x 25 MW) dan Nias 25 MW. MPP 500 MW tersebut mulai pembangunan hingga pengoperasiannya dikelola oleh anak perusahaan PLN yaitu PLN Batam. Pemilihan lokasi-lokasi tersebut didasarkan pada kondisi yang masih kekurangan pasokan listrik dan juga membutuhkan tambahan pasokan listrik dikarenakan tingginya pertumbuhan listrik di daerah tersebut. Sehingga Mobile Power Plant dipilih untuk menjadi solusi cepat dan tepat.
Bersamaan dengan itu, PLN membangun pembangkit-pembangkit baru yang sifatnya fixed seperti PLTU sehingga nantinya apabila daerah tersebut sudah tercukupi pasokannya dan ada daerah lain yang membutuhkan maka pembangkit mobile ini dapat dengan mudah dipindahkan ke lokasi atau daerah yang masih sangat membutuhkan tambahan pasokan listrik.
MPP ini menggunakan pembangkit dari General Electric dengan skema EPC (Engineering Procurement Construction) dimana seluruh pembangkit ini diperkirakan akan masuk tahap COD (Commercial Operation Date) pada Januari 2017. Sebagian pembangkit MPP 500 MW saat ini telah beroperasi dan sudah mendukung pasokan listrik di beberapa daerah mengingat tingginya permintaan tambahan pasokan listrik yang harus segera dipenuhi oleh PLN.
PLTG Mobile ini merupakan pembangkit listrik berbahan bakar gas alam yang efisien dan ramah lingkungan karena bahan bakarnya yang bersifat clean energy. Sifat MPP ini mempunyai keunggulan yaitu dapat dipindah karena jenisnya mobile ke wilayah lain di Indonesia yang membutuhkan pasokan listrik sesuai dengan kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia.
“Dengan adanya MPP ini diharapkan penyediaan tenaga listrik Indonesia dapat menjangkau hingga ke pulau-pulau pelosok di Indonesia agar ekonomi di daerah-daerah tersebut juga dapat tumbuh pesat serta dapat menjangkau masyarakat yang selama ini belum terjangkau pasokan listrik sehingga target rasio elektrifikasi 99.7% di 2019 dapat tercapai,” tutup Sarwono.