Jakarta, MinergyNews– Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, dari 2,82 juta pekerja di jabatan manajerial, hanya 33,08 persen diisi oleh perempuan. Angka ini masih jauh dibandingkan jumlah laki-laki yang menduduki jabatan manajerial yang mencapai 66,2 persen.
Secara global, dilansir dari laporan bertajuk ‘Global Gender Diversity’ yang dipublikasikan oleh BoardEx pada 28 Juli 2022, disebutkan bahwa perempuan yang menduduki posisi pemimpin pada perusahaan yang disurvey, jumlahnya tak kurang dari 19,2 persen. Sementara itu, perusahaan yang dipimpin oleh perempuan, hanya ada 5 persen.
Padahal, dikatakan McKinsey dalam studi pada tahun 2020, perusahaan dengan keragaman gender memiliki keuntungan 25 persen lebih besar dibanding perusahaan tanpa keragaman gender. Senada dengan survey McKinsey, hasil riset Dosen Program Studi Komunikasi Universitas Pertamina (UPER), Fitria Andayani, Ph.D., menunjukkan bahwa keragaman gender dalam kepemimpinan memberikan peluang bagi organisasi untuk lebih adaptif.
Dalam disertasinya, alumni program doktoral dari kampus jurnalistik tertua di dunia, Missouri School of Journalism, tersebut menyoroti keragaman dalam kepemimpinan di organisasi media. Menurutnya, dominasi gender dalam kepemimpinan di organisasi media akan sangat mempengaruhi produk dari media terkait.
“Media dengan dominasi pemimpin laki-laki misalnya, cenderung menyasar pasar laki-laki sehingga kurang menampilkan representasi perempuan dalam produknya. Hal ini sangat disayangkan karena keragaman gender di ruang redaksi sangat dibutuhkan untuk menjawab tantangan industri media yang semakin kompetitif,” tuturnya dalam wawancara daring, Jumat (12/08/2022).
Dalam risetnya, Fitria mewawancarai 31 pemimpin perempuan di sejumlah organisasi media di Indonesia. Dari hasil riset, diketahui bahwa media dengan pemimpin perempuan cenderung memiliki inovasi bisnis yang lebih beragam, memiliki kesempatan lebih besar untuk menyasar pasar yang lebih luas, dan berpotensi memiliki keuntungan yang lebih besar.
“Dalam memimpin organisasi jurnalistik yang sangat maskulin, para pemimpin perempuan yang menjadi responden, ternyata mampu menghadirkan transformasi organisasi yang lebih baik. Kepimpinan mereka yang sensitif terhadap bias gender dan keragaman, menciptakan lingkungan kerja yang lebih demokratis. Hal ini mampu meningkatkan kreatifitas dan menghasilkan ide bisnis baru yang lebih inovatif,” ujarnya.
Melalui disertasinya, Fitria berharap dapat menyadarkan para pelaku media untuk menempatkan perempuan pada posisi kepemimpinan di organisasi untuk keuntungan bisnis. “Selain itu, disertasi ini juga diharapkan dapat mendorong para perempuan untuk tidak ragu menempati posisi puncak di organisasi. Karena, baik perempuan maupun laki-laki berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri di dunia kerja,” ungkapnya.
Fitria Andayani, merupakan salah satu dosen muda berprestasi UPER, yang baru saja menamatkan pendidikan doktoralnya dari Missouri School of Journalism, Amerika, dalam waktu kurang dari 3 tahun dengan IPK 4.00, melalui beasiswa Fulbright-Dikti. Ia meraih gelar Master of Arts in Media and Journalism dari Newcastle University, Inggris melalui beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Fitria juga merupakan anggota komunitas kehormatan di bidang jurnalistik dan komunikasi massa di Amerika, Kappa Tau Alpha. Pasalnya, tak kurang dari 10 persen lulusan jurnalistik Amerika yang diundang untuk bergabung di komunitas tersebut.