Jakarta, MinergyNews– Pengembangan hilirisasi pertambangan mineral khususnya thorium di Indonesia diproyeksikan akan mendorong tumbuhnya industri strategis. Sehingga, sektor industri yang selama ini belum mampu menjadi motor pertumbuhan ekonomi bisa bangkit kembali sesuai dengan perencanaan pembangunan nasional.
Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Zulnahar Usman mengatakan, ketersediaan pasokan listrik menjadi faktor penting dalam proses industrialisasi di Indonesia. Tanpa adanya pasokan listrik dalam jumlah besar dan harga terjangkau, maka akan sulit bagi industri untuk dapat tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan.
“Oleh karena itu, harus ada program quick win yang dilakukan pemerintah agar dapat secara tepat dan cepat membangkitkan ekonomi. Yakni, pengembangan industri pertambangan lewat produk hilirisasi mineral yang kemudin dilanjutkan dengan program yang bersifat padat investasi dan teknologi,” kata Zulnahar yang menjabat sebagai Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Energi dan Sumber Daya Mineral KEIN R.I, Selasa (2/1/2018).
Zulnahar menjelaskan, industri yang berbasis teknologi dan inovasi adalah kunci untuk Indonesia menjadi negara maju dan besar, bukan negara atau bangsa pengekor. Sekarang ini industri yang masih dominan di tingkat global yaitu sektor industri elektronik.
Sementara itu, tambahnya, industri ini sangat membutuhkan logam tanah jarang, yang merupakan salah satu produk turunan dari hasil hilirisasi mineral.
Menurut Zulnahar, pengembangan hilirisasi mineral tanah jarang begitu potensial untuk mendorong tumbuhnya ekonomi. Sebab, selain akan menarik masuknya investor di bidang elektronik, produk mineral tanah jarang juga bisa dikembangkan lagi untuk menghasilkan produk yang lebih berharga.
“Logam tanah jarang merupakan mineral ikutan dalam timah dan monazite. Pemisahan logam tanah jarang dari monazite akan menghasilkan thorium yang dapat dijadikan sumber bahan bakar dari pembangkit listrik tenaga thorium yang bersih tanpa emisi, memiliki densitas energi jauh lebih besar dibandingkan energi fosil,” ujarnya.
Menurut dirinya, thorium tidak dapat disangkal akan menjadi energi masa depan dan kita harus melakukan lompatan kuantum dengan bauran energi ini, sedangkan logam tanah jarang akan menjadi komoditas yang akan lebih strategis dari minyak.
Pasalnya, Zulnahar melanjutkan, kedua produk hasil pemurnian mineral sangat berpotensi untuk dapat dijadikan prioritas industri nasional menuju industri nasional berbasis inovasi dan teknologi.
Selain itu, ungkap dirinya Indonesia juga bisa mencontoh Korea Selatan yang sukses menjalankan industrialisasi. Negara Gingseng tersebut hanya dalam kurun waktu 30 tahun, ekonomi Korea Selatan berhasil meroket menjadi negara berpenghasilan tinggi.
Padahal, pada era 1950-an, Korea Selatan dan Indonesia masih berada pada posisi yang relatif sama. Bedanya, Korea Selatan mengandalkan program industri yang terstruktur dan masif dengan mengandalkan industri berat dan berteknologi maju atau industri yang selain padat investasi juga padat teknologi. Sementara itu, pada periode yang sama, Indonesia justru mengembangkan industri yang bersifat padat karya dengan nilai tambah yang rendah.
“Saat ini, pasokan logam tanah jarang untuk Industri elektronik 90% dihasilkan dari Tiongkok. Padahal, Indonesia juga memiliki sumber daya logam tanah jarang yang melimpah dan dapat dikembangkan lagi untuk memproduksi thorium,” ujar Zulnahar.
Sebelumnya, KEIN melalui working group ESDM-nyya baru-baru ini melakukan kunjungan kerja ke Amerika Serikat untuk mendapatkan masukkan dan dukungan untuk mengembangkan energi thorium sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga nuklir thorium (PLTT). Nantinya, Indonesia dapat mengembangkan industri thorium untuk kebutuhan pembangkit setelah adanya keputusan resmi dari pemerintah dalam hal ini Bapak Presiden Joko Widodo.