Jakarta, MinergyNews– Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki potensi untuk menjadi Poros Maritim Dunia. Hal tersebut terungkap dalam sebuah Diskusi Publik yang dilaksanakan oleh Ikatan Alumni Lemhanas (IKAL Strategic Center) di Jakarta, Rabu (20/4/2022), Pengamat Maritim yang juga Pendiri Perkumpulan Ahli Keselamatan dan Keamanan Maritim Indonesia (AKKMI) Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa saat menjadi pembicara di diskusi publik bertema Pembangunan Maritim Pasca 2024 Tetap Adakah?, mengutarakan apresiasinya terhadap Pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang telah memberikan perhatian khusus terhadap perkembangan dunia maritim di Indonesia.
“Apresiasi positif patut saya berikan kepada pemerintahan saat ini, karena secara jujur baru kali ini saya merasa muncul perhatian yang sangat besar terhadap perkembangan dunia maritim di Indonesia. Setelah sekian lama kita tenggelam dalam konsep negara agraris dan rakyat seperti dipaksa untuk memahami bahwa Indonesia adalah negara agraris, akhirnya kita kembali ke ‘haluan’ kita yang sebenarnya yaitu sebagai Bangsa Maritim. Saya melihat baru kali ini ada pemerintahan yang memberikan konsep Poros Maritim Dunia serta Tol Lautnya,” ujar Capt. Hakeng.
Dirinya sebagai Pengamat Maritim juga merasa khawatir jika pada 2024 nanti terjadi pergantian rezim. “Dan terus terang, menjadi kekhawatiran tersendiri bagi saya sebagai pengamat maritim, ketika tahun 2024 nanti terjadi pergantian rezim, apakah rezim penggantinya masih memiliki visi yang sama perihal Maritim?” sebut Capt. Hakeng begitu biasa disapa.
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa Negara Indonesia ini terdiri dari lautan, yang ditaburi oleh pulau-pulau, setidaknya itu yang dikatakan Founding Father kita, Ir. Soekarno Presiden Republik Indonesia Pertama dalam berbagai kesempatan berbicara di forum resmi.
“Kita ini bangsa maritim, beliau tidak mengatakan bahwa Indonesia negara kepulauan. Soekarno juga tidak mengatakan Indonesia adalah negara agraris. Tapi secara spesifik beliau mengatakan bahwa Indonesia adalah negara lautan yang ditaburi oleh pulau-pulau, Bangsa Maritim. Sebagai bangsa maritim kita harusnya tidak hanya pandai menyanyikan lagu ‘Nenek Moyangku Seorang Pelaut’. Sebagai bangsa maritim harusnya kita sadar bahwa Indonesia terdiri dari 17.499 pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote. Dimana total wilayah Indonesia sekitar 7,81 juta kilometer persegi (km2), Dimana 5.80 juta km2 adalah lautan atau 67 persen wilayah Indonesia adalah lautan,” jelas Capt. Hakeng.
“Dengan kondisi geografis kita yang specific dan given seperti ini dan jika kaitkan dengan tema diskusi kita kali ini ‘Pembangunan Maritim Pasca 2024’ Tetap adakah? maka tentunya jawabannya adalah sudah pasti harus tetap ada. Selama negara kita masih terdiri dari banyak pulau dan belum ada teknologi yang mampu menyatukan pulau-pulau itu menjadi satu benua. Maka selamanya Indonesia merupakan negara maritim dan Indonesia selamanya membutuhkan pembangunan di bidang maritim,” ungkap Capt. Hakeng.
“Bagaimana mungkin distribusi pangan akan bisa merata ke seluruh pelosok negeri tanpa menggunakan kapal-kapal niaga kita? Bagaimana mungkin pemerintah mendistribusikan jutaan ton BBM ke seluruh pelosok negeri, sehingga ada BBM satu harga ini tanpa menggunakan kapal laut?” jelas Capt. Hakeng, SekJend Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Maritim Indonesia (FORKAMI).
Dalam diskusi publik ini Capt. Hakeng menyoroti beberapa isu dan memberikan beberapa masukkan kepada pemerintahan untuk bisa dijadikan perhatian.
Isu pertama yang dibahasnya adalah mengenai Lima Pilar Poros Maritim Dunia. Dimana menurutnya fokus atau pekerjaan rumah besar yang harus menjadi perhatian pemerintah adalah terkait Pilar Pertama, Ketiga dan Keempat.
Dimana pada pilar yang pertama, pembangunan kembali budaya maritim Indonesia. Ketika dirinya ditanyakan apakah budaya maritim Indonesia ini sudah muncul di masyarakat Indonesia? Capt. Hakeng menyatakan dengan tegas bahwa masyarakat masih belum merasa memiliki budaya maritim yang kuat. Karena ini bisa dilihat dari keseharian masyarakat contohnya dalam gaya bercanda atau anekdot yang keluar di masyarakat seperti kalimat berupa “udah ke laut aja”. Kalimat itu sering muncul sebagai gaya bercandanya dan sepertinya lumrah bagi masyarakat, tapi dalam artinya bagi dirinya sebagai seorang pelaut.
Oleh sebab itu melalui diskusi publik ini, “Saya ingin mengajak seluruh elemen masyarakat agar memaksimalkan budaya maritim. Salah satu alternatif yang saya usulkan adalah dengan memasukan pendidikan maritim ke mata kuliah wajib seperti mata kuliah character building lainnya, Pancasila dan Agama di kampus-kampus Indonesia.”
Pada pilar ketiga yang menurut Capt. Hakeng patut mendapat perhatian adalah komitmen mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan laut, logistik, dan industri perkapalan, serta pariwisata maritim.
Secara umum sebetulnya sudah bagus, hanya memang masih terdapat aspek yang patut menjadi perhatian. Terutama kelemahan yang dimiliki adalah konsistensi. “Pada periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi penjabaran dan pemberitaan terkait Indonesia sebagai negara maritim luar biasa dahsyatnya. Saya sebagai praktisi maritim saat itu sangat bahagia serta bangga. Tapi saya rasakan diperiode kedua pemerintahan Jokowi terjadi penurunan konsistensi terkait keinginannya membangun indonesia sebagai negara maritim.
Pilar keempat yang jadi fokus pembahasan Capt. Hakeng adalah diplomasi maritim yang mengajak semua mitra Indonesia untuk bekerja sama pada bidang kelautan.
“Kata diplomasi saya soroti ini sebagai titik yang belum bisa maksimal. Diplomasi hanya untuk area government/pemerintah yang bisa berdiplomasi dengan negara lain. Karena itu saya mendorong agar pilar keempat ini dilebarkan maknanya menjadi Promosi Maritim, sehingga bisa melibatkan seluruh elemen bangsa,” tegasnya.
Hal lain yang dibahas Capt. Hakeng dalam diskusi publik itu adalah soal Teknologi Kapal Laut Tanpa Awak atau MASS (Marine Autonomous Surface Ships) yang menurut dia teknologi MASS ini tujuan akhirnya adalah menghilangkan para pelaut dan digantikan oleh Artificial Intelligence.
Penerapan MASS di negara Indonesia menurut Capt. Hakeng harus dipikirkan secara matang. Apalagi pada 2045 nanti, Indonesia akan menghadapi bonus demografi. Bonus demografi merupakan suatu keadaan di mana penduduk yang masuk ke dalam usia produktif jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan penduduk usia tidak produktif. Usia produktif yang dimaksud adalah berkisar antara 15 hingga 64 tahun.
“Dengan bonus demografi yang segera dinikmati Bangsa Indonesia. Maka mengedepankan pengembangan Industri padat karya yang berintegrasi dengan teknologi. Bukan malah mengedepankan pengembangan teknologi yang meminimalisir jumlah pekerja. Jangan sampai bonus demografi malah menjadi bencana demografi bagi Bangsa Indonesia,” katanya.
Ada yang patut dijadikan perhatian ungkap Capt. Hakeng terutama yakni memaksimalkan peran pelaut Indonesia dalam menjaga kedaulatan Indonesia sebagai bangsa Maritim. Indonesia memiliki 111 Pulau Kecil terluar, karena itu negara harus hadir di setiap pulau kecil terluar. Jangan sampai peristiwa hilangnya Pulau Ligitan dan Sipadan ke negara lain menjadi terulang kembali.
Penting pula melibatkan para nelayan atau para Pelaut Indonesia dalam menjaga kedaulatan negara. Sebagaimana tertera dalam semangat Pasal 30 ayat 2 UUD 1945 hasil amandemen kedua, yaitu sistem Makarrata yang dapat diterapkan pula di dunia Maritim.
Dalam closing statemennya, Capt Hakeng memberikan pernyataan tegas “Harusnya dapat kita sepakati bersama bahwa ada PR besar yang menunggu untuk kita selesaikan. Sangat penting untuk selalu dapat memahami betapa Negara Indonesia adalah Negara yang sedang bercita-cita menjadi Negara Maritim,” katanya.
Dalam beberapa diskusi muncul pertanyaan bagaimana cara paling mudah menghancurkan Indonesia? “Hancurkan saja Maritimnya. Tidak akan ada lagi persatuan di sana, yang tertinggal hanya pulau-pulau tanpa pemersatunya. Patut selalu kita ingat tanpa pelaut dan kapal, Indonesia tidak akan menjadi Negara Maritim. Tanpa Pelaut dan Kapal, maka tidak akan terdapat Kedaulatan energi, ekonomi dan pangan di Indonesia,” pungkasnya.