Jakarta, MinergyNews– Pemerintah mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pendelegasian Kewenangan dalam Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Bidang Usaha Pertambangan Batubara pada 11 April 2022 lalu.
Perpres No. 55 Tahun 2022 merupakan amanat dari Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, terkait pendelegasian sebagian kewenangan pengelolaan pertambangan minerba Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi.
“Perpres ini dibentuk dalam kerangka pelaksanaan UU No. 3 Tahun 2020 di mana sebagian dari kewenangan Pemerintah Pusat didelegasikan kepada Pemerintah Provinsi dengan tujuan untuk pelaksanaan tata kelola yang baik dan efektif. Dalam pendelegasian ini, regulasi-regulasi yang berada di atasnya akan tetap berjalan seperti semula,” ujar Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Ridwan Djamaluddin, pada Konferensi Pers terkait Perpres Nomor 15 Tahun 2022 dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2022, secara virtual, Senin (18/4).
Ridwan menegaskan bahwa Kementerian ESDM tengah berkoordinasi dengan Kementerian terkait dan Pemerintah Daerah agar transisi berjalan dengan lancar dan tidak menimbulkan kekacauan.
“Jangan sampai pemberlakuan Perpres ini akan menimbukan kekacauan dalam perizinan. Saat ini kami sedang mengatur perizinan yang masuk, sedang kami proses. Namun nanti ada batas waktunya untuk seterusnya prosesnya akan dilanjutkan oleh pemerintah Provinsi. Mohon bersabar, tidak ada niat dari pemerintah untuk menunda. Yang kami lakukan adalah membuat masa transisi berjalan dengan mulus sesuai tujuan dan hakekat Perpres ini”, lanjut Ridwan.
Pendelegasian Kewenangan berlaku efektif pada tanggal 11 April 2022. Pemerintah Pusat segera melakukan koordinasi dengan Pemda Provinsi dan Instansi Pemerintah terkait dalam rangka pelaksanaan Perpres Nomor 55 Tahun 2022. “Kami ingin agar pendelegasian mencapai tujuannya dimana tidak ada tata kelola pertambangan minerba yang berkurang serta semua berjalan baik. Yang terpenting adalah publik mendapat layanan terbaik dan tidak terputus”, Ridwan kembali menegaskan.
Perpres pada pokoknya mendelegasikan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Provinsi terkait pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk golongan mineral bukan logam, mineral bukan logam jenis tertentu, dan batuan. Selain IUP, pemberian perizinan lainnya berupa Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP) untuk 1 Daerah Provinsi, Izin Pengangkutan dan Penjualan serta IUP untuk Penjualan golongan mineral bukan logam, mineral bukan logam jenis tertentu, dan batuan juga turut didelegasikan.
Pendelegasian Perizinan juga dibarengi dengan pendelegasian kewenangan untuk pemberian dan penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Mineral Bukan Logam, WIUP Mineral Bukan Logam Jenis Tertentu, dan WIUP Batuan, penetapan harga patokan golongan mineral bukan logam, mineral bukan logam jenis tertentu, dan batuan, pemberian rekomendasi atau persetujuan yang berkaitan dengan kewenangan yang didelegasikan.
Kewenangan untuk melakukan Pembinaan dan Pengawasan terhadap Perizinan yang diterbitkan pun tidak luput untuk didelegasikan. Terkait dengan Pengawasan, dalam pelaksanaan pengawasan Gubernur menugaskan Inspektur Tambang dan Pejabat Pengawas Pertambangan.
“Dalam hal ini, Inspektur Tambang hanya berada di Ditjen Minerba Kementerian ESDM dan pejabat pengawas saat ini sebagian masih di Ditjen Minerba. Apabila belum ada pejabat pengawas, Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat menunjuk pejabat yang melaksanakan fungsi pengawasan aspek pengusahaan, jadi inilah yang bisa ditetapkan oleh Pemerintah Daerah,” jelas Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Sugeng Mujiyanto.
Sementara terkait Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Bidang Usaha Pertambangan Batubara, Ridwan menyampaikan bahwa PP ini akan mendorong pemanfaatan batubara membawa manfaat yang maksimal baik bagi negara maupun badan usaha termasuk juga bagi publik secara keseluruhan.
Proses pengajuan atau penetapan PP ini sudah berjalan cukup panjang, melalui berbagai proses birokrasi, dengan menerima masukan dari pakar dan badan usaha sehingga dicapailah angka optimal yang dituangkan dalam PP ini dengan semangat mendapat sebesar-besarnya hak negara.
“Semangat kita menegaskan bahwa negara mendapat hak yang maksimal dari industri batubara dan badan usaha tidak dirugikan dalam penerapannya,” pungkas Ridwan.
PP ini menitikberatkan pengaturan perlakuan perpajakan dan/atau PNBP kepada IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian yang berasal dari PKP2B untuk mewujudkan semangat peningkatan penerimaan negara dalam pelaksanaan keberlanjutan operasi yang berasal dari kontrak, dalam hal ini PKP2B.
Pengaturan iuran produksi yang naik turun sesuai HBA menjadi win-win solution baik bagi negara dan pelaku usaha pertambangan, di mana negara ikut mendapatkan keuntungan yang maksimal ketika harga naik dan pelaku usaha tidak dibebani ketika harga turun.
“Tarif berjenjang sampai dengan 5 layer bertujuan menjaga stabilitas keekonomian kegiatan pertambangan, sehingga pada saat harga tinggi, negara mendapatkan peningkatan penerimaan negara. Namun pada saat harga rendah, pelaku usaha tidak terbebani tarif PNBP yang tinggi,” pungkas Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Lana Saria.