Jakarta, MinergyNews– Untuk mengoptimalkan pengembangan listrik berbasis EBT, berdasar Peraturan Menteri ESDM Nomor 50/2017 saat ini Pemerintah menerapkan harga listrik EBT yang disesuaikan dengan potensi kondisi lokasi pembangkit dan bagaimana EBT bisa membantu memasok energi untuk suatu wilayah sehingga harga yang ditetapkan maksimum 85 persen dari BPP setempat.
“Sekarang untuk membangkitkan listrik tenaga air, panas bumi, dan sampah itu kita akan akomodir sampai setinggi BPP wilayah. Kalau misalnya BPP wilayah dibawah BPP nasional maka boleh dinegosiasikan, namun yang di luar itu termasuk angin, surya dan biomasa itu kita harapkan maksimum 85% dari BPP Wilayah,” ujar Menteri ESDM, Ignasius Jonan.
Lebih jauh Jonan menjelaskan, kalau tarifnya masuk, ia mempersilahkan pengembang untuk membangun pembangkit-pembangkit listrik tenaga angin misalnya seperti ada di Pulau Kei Kecil, Pulau Buru, dan Pulau Selayar.
“Kalau Pulau Selayar pasti BPP-nya tersendiri karena ini wilayah yang terpencil. Tapi kalau bangun di Sidrap lagi saya dukung, cuma tarifnya mengikuti BPP Wilayah Sulawesi Selatan,” lanjut Jonan.
Jonan menekankan, untuk membangun pembangkit listrik EBT yang harus menjadi perhatian adalah besaran tarif listrik yang terjangkau masyarakat,”Selama tarifnya cocok kita jalan. Intinya pemerintah sangat mendorong supaya kita bisa mencapai bauran energi 23% di kelistrikan dan di transportasi itu sampai 2025,” pungkasnya.
Selain Kabupaten Sidrab di Provinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah berencana akan membangun PLTB di wilayah-wilayah Indonsia lainnya yang memiliki potensi energi angin yang ekonomis untuk dikembangkan seperti, Sukabumi (10 MW dan 170 MW), Garut (150 MW), Pandeglang (150 MW), Belitung Timur ( 10 MW), Tanah Laut ( 90 MW), Janeponto (60 MW dan 50 MW), Selayar ( 5 MW), Buton ( 15 MW), Kupang ( 20 MW), Timor Tengah Selatan (2X10 MW), Lombok (15 MW), Pulau Kei Kecil ( 5 MW) dan Saumlaki ( 5 MW).