Jakarta, MinergyNews– Pemerintah menegaskan kembali komitmennya mendukung pembangunan kilang minyak baru (Grass Root Refinery) dan peningkatan kapasitas kilang eksisting (Refinery Development Master Plan/RDMP) untuk mewujudkan ketahanan energi nasional, memenuhi kebutuhan dalam negeri serta mengurangi impor. Pembangunan kilang minyak juga merupakan salah satu proyek strategis nasional.
“Untuk mengatasi berbagai kendala dan mendorong badan usaha agar mau membangun kilang, mengurangi impor dan menciptakan iklim investasi yang kondusif, Pemerintah telah menerbitkan berbagai regulasi terkait pembangunan kilang,” ujar Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Mohammad Hidayat mewakili Menteri ESDM dalam diskusi daring yang diselenggarakan Portonews, Sabtu (27/6).
Dukungan Pemerintah ini dalam bentuk berbagai kemudahan, seperti penyelesaian perizinan, percepatan penyediaan lahan, pemberian jaminan Pemerintah, penugasan kepada BUMN dan percepatan pengadaan barang dan jasa.
Selain itu, Pemerintah juga memberikan insentif sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Presiden Nomor 146 Tahun 2015 yang mengatur bahwa dalam rangka meningkatkan kelayakan keekonomian, pelaksanaan pembangunan dan pengembangan kilang minyak dapat dilakukan dengan memberikan insentif fiskal dan non fiskal. Antara lain, PMK Nomor 188 tahun 2015 di mana diatur pembebasan pajak dalam rangka impor yaitu untuk barang modal selama 3 tahun dan dapat diperpanjang setiap tahun sekali.
“Diatur pula pembebasan bea masuk untuk impor raw material selama 2 tahun. Ini juga dapat diperpanjang 1 tahun berikutnya,” papar Hidayat.
Selain itu, PMK Nomor 150 Tahun 2018 di mana dinyatakan bahwa dengan nilai invetasi paling sedikit Rp 30 triliun, dapat diberikan fasilitas tax holiday 100% selama 20 tahun dan ditambah 50% selama 2 tahun.
Pembangunan kilang minyak, lanjut Hidayat, harus dilakukan tidak hanya untuk menghasilkan BBM, tetapi juga menghasilkan bahan baku yang dapat diproses lebih lanjut guna memperoleh produk-produk petrokimia yang akan memberikan nilai yang tinggi. “Pembangunan kilang minyak yang terintegrasi dengan petrokimia akan memberikan nilai ekonomi yang lebih menarik,” tambah Hidayat.
Seiring pertumbuhan ekonomi nasional, lanjut dia, kilang-kilang yang sudah ada saat ini tidak mampu memenuhi kebutuhan domestik. Dalam 5 tahun terakhir, impor BBM mencapai 35% dari total kebutuhan dalam negeri. Kondisi ini berpengaruh terhadap neraca perdagangan Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, pada tahun 2019, produksi BBM dari kilang dalam negeri sebesar 44,5 juta KL. Sedangkan impor BBM sebesar 24,7 juta KL, terdiri dari BBM jenis gasoline atau bensin sebesar 81,6% dan minyak diesel sebesar 15, 7%, serta sisa 2,7% merupakan BBM jenis lainnya.
“Pemerintah terus berupaya memenuhi kebutuhan dalam negeri, antara lain dengan pembangunan kilang ini. Dengan adanya kilang baru dan peningkatan kapasitas kilang eksisting, kita tidak perlu impor BBM lagi, ” tegas Hidayat.
Hal senada juga dikemukakan Direktur Pembinaan Program Migas Soerjaningsih, dalam kesempatan yang sama. Apabila semua proyek kilang yaitu 2 kilang minyak baru di Bontang dan Tuban, serta 4 kilang RDMP di Dumai, Balikpapan, Balongan dan Cilacap terbangun, Indonesia akan terbebas dari impor BBM pada tahun 2026.
Soerjaningsih memaparkan, berdasarkan prognosa, pada tahun 2022 diperkirakan ada tambahan produksi BBM dari RDMP Balongan. Rampungnya RDMP Balikpapan tahun 2023, juga menyumbang tambahan produksi.
Selanjutnya, produksi BBM juga akan bertambah dengan selesainya Kilang Bontang tahun 2025 dan tahun 2026, diharapkan terdapat tambahan produksi dari RDMP Cilacap dan GRR Tuban.
“Begitu adanya penambahan produksi BBM, tahun 2026 kita sudah lebih dari sisi suplai dibandingkan kebutuhan. Diharapkan mulai tahun 2026 kita tidak impor BBM dan bahkan mungkin bisa ekspor BBM,” tutupnya.