METI : Menteri ESDM Jangan Ulangi Kesalahan Kebijakan Penentuan Tarif EBT

Jakarta, MinergyNews–  Para investor mempertanyakan kebijakan Menteri ESDM Ignasius Jonan terkait energi baru terbarukan (EBT) dengan pembatasan tarif EBT sebesar maksimal 85 persen dari Biaya Pokok Produksi (BPP).

Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Surya Darma kepada wartawan di Jakarta.

Pasalnya, menurut Surya, kebijakan serupa yang pernah diterapkan kementerian ESDM tersebut telah megalami kegagalan.

Dirinya menjelaskan, pembatasan tarif EBT sebesar 85 persen Biaya Pokok Produksi (BPP), pernah diberlakukan melalui Permen ESDM Nomor 14 Tahun 2008 tentang Harga Patokan Penjualan Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi.

“Saat itu, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan tentang pembatasan yang besarnya juga 85 persen dari BPP. Nyatanya, Permen itu gagal dan akhirnya diganti. Jadi sulit dimengerti, mengapa Menteri ESDM sekarang justru mengulangi kegagalan tersebut,” ujarnya.

Selain itu, tambahnya, sikap kementerian ESDM yang mengulangi kebijakan yang pernah gagal tersebut membuat para investor prihatin.

“Ketika kemarin saya rapat di Kantor Wapres, asosiasi menyampaikan prihatin dengan Permen itu. Artinya Permen tersebut memang perlu dievaluasi,” tuturnya.

Keprihatinan investor, menurut Surya, karena ketidakjelasan pemerintah dalam menetapkan pembatasan tersebut. Pasalnya, selain kondisi yang berbeda antara satu daerah dan daerah lain, besaran BPP akan selalu berubah dari waktu ke waktu.

Sedangkan, proses pembangunan tersebut tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Untuk komisioning saja, kata dia, baru bisa dilakukan tiga hingga empat tahun mendatang. “Kalau sudah demikian, BPP mana yang dihitung? Yang tiga sampai empat tahun akan datang atau yang sekarang? Kalau yang sekarang, berarti dihitung dari pembangkit yang dibangun sekitar 5-10 tahun lalu, dan itu sudah pasti biayanya lebih rendah,” paparnya.

Di sisi lain, Surya juga mempertanyakan, mengapa justru EBT yang harus “dipangkas” dan dianaktirikan. Padahal, melihat porsi EBT dalam sumber energi pembangkit pun sebenarnya sangat kecil. Kalau pun porsi EBT ditingkatkan, tentu pengaruhnya pada beban keuangan negara tidak terlalu besar. “Pembatasan itu bertolak belakang dengan yang diberlakukan di berbagai belahan bumi. Di sana EBT mendapat insentif, perhatian khusus, yaitu 100 persen plus-plus, sedangkan di sini minus-minus,” tukasnya.

Sebagai informasi, melalui Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan untuk Penyediaan Listrik, pemerintah menetapkan patokan harga maksimal untuk listrik dari tenaga matahari, angin, air, biomassa, biogas, sampah, dan panas bumi.   (us)




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *