Jakarta, MinergyNews– Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM), Ignasius Jonan, baru saja menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 12 Tahun 2017 yang mengatur Pemanfaatan Sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Permen ini menyatakan bahwa pembelian tenaga listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Fotovoltaik, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm), Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg) paling tinggi 85% dari Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat.
Dalam hal BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat sama atau di bawah rata-rata BPP Pembangkitan Nasional, maka harga pembelian tenaga listriknya sebesar sama dengan BPP Pembangkitan setempat.
Sedangkan pembelian tenaga listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Kota (PLTSa) paling tinggi sebesar 100% dari BPP Pembangkitan setempat. Apabila BPP setempat sama atau dibawah BPP Nasional, maka harga pembelian tenaga listriknya dilakukan secara business to business antara PT. PLN dengan investor atau biasa disebut Independent Power Producer (IPP).
Belum lama diterbitkan, Permen 12 Tahun 2017 mendapatkan beragam pendapat serta masih menjadi pokok pembahasan dari berbagai pihak dalam diskusi-diskusi publik. Seperti yang baru saja berlangsung kemarin dalam Dialog Energi Nasional dengan tema “Strategi Pencapaian Target EBT 23%” yang diselenggarakan oleh Dewan Energi Nasional (DEN). Rinaldy Dalimi, anggota DEN dari unsur pemangku kepentingan, hadir untuk memaparkan terkait kebijakan harga pembelian listrik dari energi terbarukan tersebut.
Rinaldy menjelaskan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) Pasal 9 butir f.1 disebutkan tercapainya bauran energi primer yang optimal, pada tahun 2025 peranan EBT paling sedikit 23% dan pada tahun 2050 paling sedikit 31% sepanjang keekonomiannya terpenuhi. “Namun yang perlu diingat dan dicatat target ini dari seluruh jenis EBT dan bukan dari listrik saja”, papar Rinaldy.
Dilanjutkannya, manfaat kebijakan 85% BPP yang ada di dalam Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017, di antaranya:
- Semua produksi Listrik dari Energi Terbarukan akan terserap
- Efisiensi PLN dan Investor akan meningkat
- Harga Listrik tertahan laju kenaikannya
- Pembangunan Energi Terbarukan bergeser ke Luar Pulau Jawa
- Pembangunan Listrik di daerah pedesaan terpicu
- Merubah mind-set Pembangunan Energi dari sisi Supply ke sisi Demand
“Meskipun memiliki tantangan, namun tantangan penerapan kebijakan ini hanya sampai tahun 2030, karena setelah itu harga energi terbarukan akan lebih murah dari energi fosil, oleh karena itu kebijakan pendukung hanya diperlukan sampai tahun 2030 setelah itu tidak diperlukan lagi. Yang terpenting dari semua itu adalah Permen 12 Tahun 2017 ini akan mampu melakukan pemerataan dalam pembangunan listrik nasional,” pungkas Rinaldy. (us)