Jakarta, MinergyNews– Terkait dengan rencana penempatan Ahok di BUMN sektor energi menyalahi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam sistem negara Indonesia. Meski dalam konteks konstitusi, Ahok memiliki hak untuk menjadi direktur utama atau komisaris di BUMN, namun karena adanya berbagai kasus yang masih “gelap”, maka hak Ahok tersebut dibatasi dengan sendirinya.
Hal tersebut seperti yang dinyatakan oleh Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute (KJI), Ahmad Redi dalam diskusi “Tolak Ahok Pimpin BUMN Milik Rakyat” bertempat di Restoran Pulau Dua, Senayan, Jakarta, Kamis (21/11).
Menurut Ahmad Redi, selain persoalan hukum, Ahok saat ini menjadi salah satu anggota partai politik aktif. Meski dalam pasal 16 UU BUMN No.19/2003 larangan menjadi petinggi BUMN adalah pengurus partai, namun status keanggotaan Ahok dalam partai dinilai bukan sebagai anggota biasa. Dia adalah anggota luar biasa yang seharusnya juga masuk dalam kriteria yang dilarang untuk memimpin sebuah BUMN.
“Faktanya memang Ahok adalah bukan pengurus politik di PDIP tapi dalam penjelasan secara filosofis di dalam UU itu muncul karena kalau pegurus partai jadi petinggi BUMN akan ada potensi konflik kepentingan, masalahnya Ahok ini bukan anggota politik kaleng – kalengan tapi anggota partai yang punya afiliasi kuat dalam politik,” katanya.
Namun, tambahnya, dari sisi kompetensi, Ahok sama sekali tidak punya pengalaman faktual kalau dirinya sebagai ahli di sektor energi. Oleh sebab itu rencana penunjukan Ahok sebagai pentinggi BUMN sektor energi patut dipertanyakan. Jika penempatan dirinya sebagai petinggi BUMN hanya faktor coba-coba, Ahmad Redi menilai hal itu sangat membahayakan bagi perusahaan sekelas Pertamina atau PLN.
“Pengalaman pak Ahok untuk memimpin organisasi yang besar itu tidak punya, jadi Dirut itu nggak boleh coba-coba, nggak bisa dari orang kaleng – kalengan sebab Pertamina atau PLN itu BUMN besar,” pungkasnya.