Keran Ekspor Dibuka, Pengusaha Keluhkan Harga Nikel akan Jatuh

Jakarta, MinergyNews–  Terhitung sejak 12 Januari 2017 yang lalu, akhirnya Pemerintah Indonesia kembali membuka keran ekspor bijih nikel. Kebijakan ini sebenarnya ingin mendorong pembangunan fasilitas pemurnian mineral (smelter) nikel di dalam negeri.

Namun kebijakan ini malah membuat harga nikel terkoreksi dan bisa berimbas pada pembangunan smelter. Meski hanya nikel kadar rendah kurang dari 1,7 persen yang dizinkan ekspor dalam jumlah terbatas.

Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Presiden Direktur PT Vale Indonesia Tbk Nico Kanter dalam keterangan tertulisnya di Jakarta.

Nico menjelaskan, sejak pemerintah menerapkan larangan ekspor bijih nikel di awal 2014 beberapa smelter nikel telah berproduksi dan, dalam jumlah yang lebih banyak lagi, smelter-smelter baru tengah dibangun di Indonesia.

Menurut dirinya, mayoritas smelter-smelter ini akan menghasilkan produk NPI dan berkompetisi dengan produsen NPI maupun ferronikel di luar Indonesia, terutama di Tiongkok. Dia menyayangkan ekspor nikel mentah kembali dibuka meski dalam jumlah terbatas.

“Dibukanya keran ekspor bijih mentah nikel (walaupun terbatas pada nikel berkadar rendah) dapat berdampak negatif terhadap industri nikel yang tengah berkembang di Indonesia,” ujarnya.

Niko mengungkapkan, harga nikel sudah langsung turun setelah peraturan ekspor mineral mentah terbit. Diperkirakan penurunan harga nikel ini akan berkepanjangan. Akibatnya bisa berdampak langsung pada pendapatan perusahaan smelter di Indonesia dan juga pada pendapatan pemerintah dari sektor nikel.

Bersamaan dengan itu, tambahnya, kewajiban menyerap bijih dengan kadar rendah akan meningkatkan unit biaya produksi smelter yang mengakibatkan operasional smelter menjadi kurang kompetitif.

“Investasi smelter membutuhkan modal yang sangat besar dan tingkat kepercayaan yang tinggi. Tanpa konsistensi kebijakan, dukungan fasilitas dan juga kondisi harga mineral yang baik, akan sulit sekali untuk berinvestasi,” katanya.

Lebih lanjut Niko mengungkapkan analis independen Wood Mackenzie telah melakukan kajian mengenai kebijakan larangan ekspor mineral mentah. Outlook report mereka terbitan Desember 2016 menyatakan dari sudut pandang kapasitas produksi smelter, posisi Indonesia telah meningkat dari peringkat 4 di dunia pada tahun 2015 menjadi peringkat 3 pada tahun 2016. Dengan laju pembangunan smelter seperti saat ini, Indonesia diperkirakan akan mencapai tingkat pertama di dunia pada tahun 2017.

“Kami akan senantiasa berdiskusi dengan pemerintah dalam upaya agar interpretasi dan implementasi peraturan ini akan sesuai dengan maksud dan tujuannya untuk memberikan manfaat yang besar untuk semua pemangku kepentingan,” tukasnya.   (us)




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *