Jakarta, MinergyNews– Terkait dengan keputusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang membatalkan Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia ( BANI ) tentang perjanjian pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi ( PLTP ) di Dieng dan Patuha. Dipastikan putusan itu berpotensi merugikan PT Geo Dipa Energy (Persero) sebagai BUMN panas bumi. Negara berpotensi kehilangan aset senilai Rp 2,4 triliun karena Bumigas berpotensi mengambilalih proyek PLTP yang berdasarkan pada putusan PN tersebut.
Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara dalam Media Briefing di Hotel Century Park Senayan, Jakarta, Rabu (17/10).
Menurut Marwan, sebelumnya Bumigas terbukti melanggar kontrak kerjasama dengan Geo Dipa Energy (GDE) yang telah disepakati bertahun – tahun silam. Namun karena ada dugaan kuat main mata antara pengadilan dengan pihak Bumigas, maka Bumigas dinyatakan menang dan seluruh putusan dalam BANI batal.
Marwan menegaskan, memang sengketa kedua perusahaan yang sebelumnya bermitra ini telah melalui perjalanan persidangan yang panjang. “Kita menduga ada oknum yang sengaja melakukan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) dalam kasus sengketa ini. Oknum ini ada di lingkungan kekuasaan, ini harus diusut tuntas oleh Polri atau KPK karena negara akan dirugikan,” ujarnya.
Namun, tambahnya, apabila kasus Bumigas Energi ini tidak tuntas, dikhawatirkan akan menganggu iklim investasi pada PLTP . Padahal pemerintah dengan tegas menyatakan akan meningkatkan bauran energi nasional salah satunya dikontribusikan dari PLTP . Sentimen investor terhadap pengembangan PLTP diyakini akan turun apabila kasus ini tidak selesai.
“Saya sudah lapor ke DPR juga tapi tidak dipedulikan, saya sudah lapor ke dua fraksi saat itu namun sambutannya tidak terlalu menggembirakan, jadi kalau wakil rakyat saja tidak peduli dan pengadilan seperti ini, bagaimana PLTP bisa maju,” tuturnya.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang dipimpin Florensasi Susana, Selasa (4/9), mengabulkan permintaan PT BumigasEnergi (Bumigas) dan membatalkan Putusan Badan Arbitrase Indonesia ( BANI ) Nomor 922/2017 pada 30 Mei 2018 tentang perjanjian pengembangan PLTP Dieng dan Patuha tanggal 1 Februari 2005.
Marwan mengungkapkan, keputusan PN Jaksel berpotensi merugikan GDE dan menghambat pengembangan PLTP untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Putusan PN Jakarta Selatan tersebut juga bertentangan dengan hukum dan fakta persidangan yang berlangsung sebelumnya.
“Sebenarnya Bumigas sudah tidak ada hak lagi, tapi karena ada dugaan KKN ini mereka berpeluang terus merecoki bisnis GDE,” tandasnya.
Sebagaimana diketahui, sesuai program percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW tahap kedua, GDE membangun sendiri PLTP Patuha Unit 1 (1 x 55 MW) dengan dukungan pinjaman dana dari PT Bank BNI Tbk (BBNI). PLTP Patuha Unit 1 mulai beroperasi secara komersial pada September 2014, setelah tersambung dengan jaringan listrik PLN Jawa, Madura dan Bali.
Namun, saat pembangunan PLTP Patuha tersebut dimulai pada 2012, Bumigas kembali mengajukan permohonan pembatalan (kedua) putusan BANI . MA pun pada 24 Oktober 2012 membatalkan Putusan BANI 2007.
GDE kemudian mengajukan upaya hukum PK atas putusan kasasi dan PK atas Putusan PK kepada MA, atas saran dan pendampingan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (JAMDATUN) Kejaksaan Agung. Permohonan PK GDE tersebut dinyatakan tidak dapat diterima pada 20 Februari 2014.
Selain itu, Bumigas juga mengajukan permintaan ganti rugi berupa right to develop atas Proyek Dieng dan Patuha (termasuk PLTP Patuha Unit 1 vanq telah beroperasi) dan Project Development dengan skema Build Operate Transfer (BOT). Pasalnya, jika permintaan ganti rugi dipenuhi, negara akan dirugikan. Potensi kerugian negara jika GDE menyerahkan PLTP Patuha Unit 1 kepada Bumigas mencapai Rp2,4 triliun.