Jakarta, MinergyNews– Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan mengakui bahwa ada rekayasa dalam kasus dugaan korupsi yang menjerat diri dan direksi Pertamina lainnya.
Pasalnya, menurut Karen, dalam kasus dugaan korupsi terkait akuisisi Blok Basker Manta Gummy (BMG) di Australia itu hanya menyasar orang tertentu. Hal itu terkesan kasus tersebut sudah diatur atau disetting oleh pihak lain.
“Saya jadi bingung apakah persidangan ini sudah diset supaya direksi masuk penjara. Tapi dipilah-pilah juga direksinya. Hanya Bu Karen dan Pak Fere (Ferederick Siahaan, mantan direktur keuangan Pertamina),” ujarnya saat ditemui disela sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (21/3).
Karen mengungkapkan, jaksa penuntut umum (JPU) terkesan memilah bukti yang diajukan ke persidangan. Di antaranya soal keputusan melakukan pelepasan (withdrawal) participating interest 10 persen dari Blok BMG.
“Keputusan pelepasan itu tidak muncul begitu saja. Rencana pelepasan aset tersebut berawal dari usulan Pertamina Hulu Energi, anak usaha Pertamina, yang jadi pengelola Blok BMG,” katanya.
Selain itu, tambah Karen, para direksi meneruskan usulan tersebut ke komisaris. Komisaris pun meneruskan usulan itu ke Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). RUPS mempersilakan komisaris untuk memberi persetujuan, lantaran nilai akuisisi participating interest blok BMG hanya USD 30 juta.
“Jadi silakan disetujui saja oleh komisaris tidak perlu ke RUPS,” imbuhnya.
Selanjutnya, tutur Karen, komisaris lalu mengirimkan surat kepada direksi Pertamina. Inti dari surat itu adalah, jika pada batas waktu 23 Agustus 2013 proses divestasi gagal maka pelepasan aset bisa dilakukan.
Namun, menurut Karen, pada kenyataannya yang dijadikan barang bukti oleh JPU hanyalah surat dari Karen kepada Pertamina Hulu Eneegi (PHE) untuk melakukan pelepasan aset.
“Yang terjadi malah barang bukti yang dimasukkan ke dalam persidangan hanya surat perintah saya ke PHE untuk withdrawal. Jadi prosesnya dari bawah ke atas tidak dijadikan barang bukti,” katanya.
Karen menghimbau kepada BUMN agar hati2 dalam menggunakan konsultan. Dalam kasus perusahaan sekelas Delloite saja dapat memberikan keterangan menyesatkan yg mengakibatkan kedua anak buah saya di vonis penjara 8 tahun.
“Saya yakin bahwa Delloitte tidak punya intensi seperti ini dan saya harap pihak PT Delloite Konsultan Indonesia (DKI) ini dapat meluruskan,” tutur Karen.
Karen mencontohkan, dalam BAP EW mengatakan bahwa U$ 60 adalah sebagai salah satu cotoh dan bukan patokan karena range nya adalah US$ 40 sd 80. “Akan tetapi amar putusan masih menggunakan angka 60,” cetusnya.
Karen mengungkapkan, dan ini sudah dibuktikan dalam persidangan karena DKI juga tidak mengetahui bahwa pada saat transaksi ini parameter harga minyak adalah 80 sesuai dengan APBN 2009.
“Perlu dipertegas bahwa DKI itu hanya memberi masukan yang bersifat finansial dan tidak boleh berpendapat,” tuturnya.
Namun, Karen menyayangkan, EW perwakilan DKI banyak memberikan pendapat baik di BAP maupun di sidang yang justru digunakan sbg amar putusan.
“Jadi sekali lagi saya menghimbau BUMN agar berhati2 menggunakan jasa DKI,” tandasnya.