Jakarta, MinergyNews– Ketua Komite Tetap Hubungan Kelembagaan & Regulasi Sektor Energi dan Migas Kadin Indonesia Firlie Ganinduto mengatakan skema “gross split” harus dilihat secara keseluruhan untuk menilainya menarik atau tidak di mata investor.
Firlie menuturkan, untuk mengubah sistem kontrak migas dari UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan, Minyak dan Gas Bumi Negara menjadi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas dibutuhkan hingga lebih dari 10 tahun bagi investor agar mereka nyaman dengan regulasi yang baru.
“Kalau ‘gross split’ diimplementasi dan sistemnya beda dengan PSC (production sharing contract), yang kami takutkan butuh waktu lagi bagi investor agar nyaman dengan regulasi baru,” katanya di Jakarta.
Sebagai informasi, Pemerintah sedang menyusun Permen ESDM tentang kontrak bagi hasil gross split. Ditargetkan aturan ini dapat diberlakukan awal tahun 2017.
“Target awal tahun aturan sudah ada. Insha Allah kita targetkan bulan Januari,” kata Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar.
Dia menjelaskan, kontrak bagi hasil gross split ini akan diberlakukan untuk kontrak baru. Sementara untuk kontrak lama, tetap dihormati dan tidak mengalami perubahan.
Terkait kontrak Blok Offshore North West Jawa (ONWJ) yang akan habis waktunya pada 17 Januari 2017, Wamen belum dapat memastikan apakah kontrak baru blok yang nantinya 100% dikelola Pertamina tersebut akan menggunakan skema gross split. “Kalau terkejar bisa (dipakai gross split). Jangan memaksakan sesuatu yang tidak siap,” tegasnya.
Kontrak bagi hasil gross split dinilai Pemerintah lebih simpel dan prosesnya juga lebih cepat. Dengan gross split, maka tidak ada lagi cost recovery yang biasanya harus dikembalikan Pemerintah karena seluruh biaya operasi ditanggung oleh KKKS.
Gross split telah diberlakukan untuk pengembangan migas non konvensional yang tercantum dalam Permen ESDM Nomor 38 Tahun 2015 tentang Percepatan Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi Non Konvensional.