Jakarta, MinergyNews– Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, meninjau Lapangan Minyak dan Gas Bumi (migas) Banyu Urip yang dikelola oleh ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) di Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur, Jumat (20/1).
Kunjungan tersebut dilakukan seusai bertemu dengan civitas akademika STEM Akamigas Cepu. Dalam kunjungannya tersebut, Menteri Jonan menegaskan bahwa produksi minyak nasional harus dapat ditingkatkan, melebihi target lifting minyak tahun 2017 yang telah ditetapkan.
“Kalau Pemerintah maunya produksi minyak lebih besar lebih baik, supaya lifting-nya bagus,” tutur Menteri Jonan. Target lifting minyak di tahun 2017 sesuai APBN adalah sebesar 815.000 barrel oil per day (BOPD), namun Kementerian ESDM dan SKK Migas, lanjut Menteri ESDM, memiliki target tersendiri. “Jangan 815.000 BOPD, paling kurang 825.000 BOPD. Sekarang sudah tercapai ya,” tuturnya.
Terkait peningkatan produksi minyak di Lapangan Banyu Urip, saat ini SKK Migas dan EMCL sudah menyampaikan dokumen perubahan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk mendapatkan persetujuan. Persetujuan yang diminta adalah untuk dapat berproduksi mencapai 200.000 BOPD. Sebelumnya, AMDAL yang dimiliki oleh Proyek Banyu Urip hanya untuk produksi minyak sebesar 185.000 BOPD. “Kita minta tolong supaya pengajuan ini diprioritaskan,” ujar Menteri ESDM.
Produksi minyak Proyek Banyu Urip sebesar 185.000 BOPD, atau sebesar 20% dari produksi minyak mentah nasional. Pada tahun 2016, Proyek Banyu Urip melebihi target produksi hingga 106% pada tingkat produksi 171.000 BOPD dan target lifting pada 2017 berada pada tingkat produksi 200.000 BOPD dan akan mendukung hingga 24% dari target produksi minyak nasional.
Untuk menambah produksi minyak nasional Indonesia, Presiden Joko Widodo telah meminta untuk membangun banyak kilang minyak baru, baik memindahkan kilang minyak dari luar negeri maupun membangun grass root refinery. “Diusahakan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri dapat diolah dari minyak mentah di Indonesia, bukan hanya minyak mentah yang berasal dari pengeboran di Indonesia ya, impor boleh, tetapi impor minyak mentah. Minyak jadinya (diolah) di sini. Kalau kita mau membangun cadangan nasional atau cadangan strategis, kan, bentuknya BBM, bukan minyak mentah,” ujar Menteri Jonan.
Minyak mentah yang diproduksikan dari Lapangan Banyu Urip di Blok Cepu, Bojonegoro diolah di Central Processing Facility (CPF) yang berproduksi hingga 185 ribu barel per hari. Dari CPF, minyak tersebut dialirkan melalui pipa darat sejauh 72 kilometer hingga ke pantai Palang, Tuban. Lalu, dilanjutkan melalui pipa bawah laut dan ditampung di FSO Gagak Rimang yang berada 23 kilometer di lepas pantai Tuban.
Pada kesempatan tersebut, Menteri Jonan juga mengemukakan keuntungan Production Sharing Contract (PSC) Wilayah Kerja migas dengan skema Gross Split. Dengan gross split, sebut Jonan, Pemerintah tidak lagi perlu menanggung cost recovery. “Sekarang kita bagi hasil di awal, biaya produksi ya terserah kontraktor,” tuturnya. Dengan bagi hasil antara Pemerintah dan kontraktor yang sudah ditentukan sejak awal, imbuh Menteri Jonan, pendapatan netto negara bisa lebih baik.
Skema gross split ini pun hanya diterapkan untuk kontrak yang baru. “Untuk kontrak lama masih memakai skema cost recovery. Untuk kontrak yang perpanjangan, kontraknya boleh memilih menggunakan skema gross split atau tetap cost recovery,” sambungnya.
Selain itu, dengan gross split, kerja SKK Migas sebagai badan pelaksana kegiatan hulu migas akan lebih fokus kepada lifting dan keselamatan kerja. “Kalau dengan cost recovery kan fokusnya hanya ke biaya,” pungkas Jonan. (us)