Jakarta, MinergyNews– Skema power wheeling dinilai melanggar prinsip natural monopoly BUMN khususnya PLN sebagaimana amanat dari Pasal 33 UUD 1945. Pelanggaran ini terbukti dari Putusan MK atas dua kali judicial review UU Kelistrikan (No.20/2002 dan No.30/2009 dangan Putusan MK No.1/2003 dan No.111/2015) namun tetap diabaikan oleh pemerintah.
Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh
pengamat energi dari Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (1/8).
Sebagaimana diketahui, Power Wheeling merupakan skema transfer energi listrik dari pembangkit swasta masuk ke fasilitas operasi / jaringan yang dimiliki PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero. Dalam skema ini, IPP (Independent Power Producer) atau perusahaan listrik swasta bisa menjual listrik secara langsung kepada konsumen tanpa dengan memanfaatkan jaringan PLN.
“Kita tidak menolak RUU EBET ini kalau konsisten dengan konsitusi dan kepentingan negara hingga konsumen listrik Indonesia. Ini harus jadi patokan utama bagaimana DPR dan pemerintah bersama-sama membahas perjalanan revisi undang-undang itu,” ujarnya.
Untuk itu, Marwan mendesak pemerintah dan DPR untuk menjamin prinsip-prinsip dan azas keterbukaan dalam pembahasan RUU EBET yang akan segera diparipurnakan.
Menurut dirinya pasal power wheeling ini sarat moral hazard dari kalangan tertentu karena ada upaya melegalkan upaya pemanfaatan fasilitas negara untuk kepentingan kelompok tertentu.
“Kita ingatkan jangan sampai target-target pemerintah ini terkesan dipaksakan dengan membuat aturan yang merugikan BUMN dan rakyat. Kita perlu ingatkan hal itu,” cetus Marwan.
Di kesempatan yang sama, Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto mencurigai adanya titipan pasal dalam draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Energi Terbarukan ( EBET ) khususnya pasal yang memuat klausul Power Wheeling. Sebab pasal ini berpotensi diloloskan dalam sidang paripurna yang tinggal tersisa sekali lagi pada Agustus 2024 ini.
Mulyanto mengungkapkan, power wheeling ini merupakan DIM (daftar inventarisasi masalah) yang sama sekali bukan usulan dari DPR melainkan dari pemerintah. Sementara RUU EBET (dulu RUU EBT) adalah inisiatif dari DPR.
Menurut dirinya, apabila RUU EBET ini disahkan dan di dalamnya terdapat pasal power wheeling , maka PLN dan masyarakat bisa dirugikankarena nantinya harga listrik akan ditentukan oleh pemilik pembangkit (swasta). Padahal listrik merupakansektor strategis yang seharusnya dikuasai oleh negara dengan harga diatur oleh pemerintah. Penentuan harga listrik oleh perorangan jelas melanggar mandat dari konstitusi.
“Kalau ini berlaku, maka IPP bisa menjual listriknya sendiri. Ini merupakan upaya liberalisasi sektor kelistrikan karena PLN tidak bisa memonopoli lagi,” tuturnya.
Selain itu, Mulyanto menegaskan sektor-sektor strategis yang menyangkut hajar hidup rakyat, sesuai pasal 33 UUD 1945menjadi tanggung jawab negara. Oleh karena itu skema power wheeling dalam sektor ketenagalistrikan ini merupakan bentuk pembangkangan terhadap amanah UUD 45.
“Kami mengkhawatikan kedepannya harga listrik akan semakin sulit dikendalikan. Jadi kami menolak pasal terkait dengan power wheeling,” tandasnya.