IRESS: Pembentukan Holding Migas harus Sesuai dengan Amanat Konstitusi

Jakarta, MinergyNews– Presiden Jokowi telah mengesahkan pembentukan holding BUMN migas dengan ditandatanganinya PP Nomor 6 Tahun 2018 tentang  Penambahan Penyertaan Modal Negara RI dalam modal Perusahaan PT Persero Pertamina, pada medio Maret 2018. Melalui peraturan ini, pemerintah menambah penyertaan modal negara berupa pengalihan 13.809.038.755 saham seri B milik pemerintah pada PT PGN Tbk. kepada PT Pertamina (Persero).

Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategi dan Media Kementrian BUMN, Fajar Harry Sampurno mengungkapkan pengesahan holding migas ini akan berlangsung akhir Maret 2018. Hal ini akan ditandai dengan digelarnya Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) Pertamina. Pemerintah berharap, pembentukan BUMN migas lambat laun mampu meningkatkan ketahanan energi nasional.

Sebelumnya, Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan, pembentukan holding migas bertujuan untuk meningkatkan efisiensi serta menaikkan pendapatan negara dari BUMN migas. “Pada dasarnya kami diberi tanggung jawab supaya target pemerintah tercapai dan kita bisa jadi negara yang mandiri di sektor energi, otomatis kita ingin punya BUMN yang kuat dan efisien,” kata Rini Soemarno di Jakarta.

Menurut Kementrian BUMN, pembentukan holding perusahaan negara merupakan bagian dari strategi korporatisasi, restrukturisasi, dan profitisasi. Holding BUMN diharapkan dapat meningkatkan kapasitas, skala, jaringan, pendanaan, manajerial, dan kemampuan BUMN dalam kompetisi global. Penguatan dilakukan dalam rangka menjadikan BUMN berwibawa dihadapan perusahaan swasta dan asing.

Pembentukan holding merupakan hal yang telah lama dilakukan negara ASEAN lain, seperti Temasek, Singapura atau Khasanah, Malaysia sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas. Karena itu, holdingisasi BUMN merupakan salah satu upaya menjadikan perusahaan-perusahaan negara lebih tangguh.

Di samping itu, faktor penting yang ingin dicapai adalah terjadinya sinergi seluruh potensi sektor migas nasional. Fajar Sampurno mengungkapkan, Pasca terbentuknya holding migas, akan ada pemanfaatan fasilitas bersama antara PGN dan Pertagas. Sinergi kedua perusahaan antara lain adalah terhubungnya infrastruktur gas dari barat (Arun) hingga timur (Papua) Indonesia tanpa adanya duplikasi. Sinergi infrastruktur ini akan meringkas dana distribusi infrastruktur gas, sehingga diharapkan harga gas menjadi lebih murah.

Dengan terbentuknya holding migas, kompetisi yang selama ini menjadi rahasia umum terus berlangsung antara kedua BUMN, diyakini akan berakhir. Akibat kompetisi tersebut telah terjadi tumpang tindih pembangunan jaringan pipa gas di daerah yang padat konsumen dan kevakuman jaringan pada wilayah minim konsumen.

Kondisi tersebut telah menyebabkan tidak optimalnya pembangunan infrastruktur dan pelayanan gas nasional. Melalui holding migas diharapkan pembangunan infrastruktur dan pelayanan gas yang komprehensif dengan harga terjangkau akan lebih meluas dan merata ke seluruh wilayah Indonesia.

Di samping terciptanya sinergi, efisiensi dan efektivitas pengelolaan industri  migas nasional, penyatuan Pertamina dan PGN pun akan meningkatkan leverage dan kapasitas investasi korporasi ke depan. Dengan demikian, Holding BUMN Migas ini pun perlu dan harus berkembang bukan saja menjadi perusahaan migas, tetapi menjadi perusahaan energi yang terus membesar. Hal ini akan membuat Holding BUMN mampu menyediakan kebutuhan energi yang terus meningkat setiap tahun secara berkelanjutan, serta siap pula bersaing di kancah global.

Sejalan dengan hal di atas, pemerintah perlu memperjelas visi dan misi Holding BUMN Migas untuk tidak hanya fokus mengelola bisnis migas, tetapi harus berkembang untuk fokus pada bisnis energi. Untuk itu pemerintah perlu menyiapkan grand design bisnis holding BUMN ini dengan salah satunya mengacu pada PP No.79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam PP tersebut, porsi penggunaan gas dan energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional meningkat signifikan dan peningkatan tersebut harus mampu dipenuhi oleh Holding BUMN Migas tersebut.

Memperhatikan berbagai manfaat yang diuraikan di atas, serta semakin mendesaknya kebutuhan penyediaan energi guna mendukung pembangunan yang berkelanjutan, IRESS menganggap pembentukan Holding BUMN Migas merupakan hal yang tepat untuk diimplementasikan. “Apalagi, pembentukan holding sektor migas tersebut, bersamaan dengan pembentukan holding-holding sektor lain seperti perbankan, tambang, konstruksi, dan lain-lain, merupakan kebijakan strategis yang telah disepakati oleh pemerintah dan DPR pada masa lalu, jauh sebelum pemerintahan Jokowi-JK,” ujar Direktur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara dalam media briefing di Jakarta.

Namun, ungkap Marwan, meskipun pembentukan Holding telah dicanangkan dan menjadi kesepakatan lembaga negara pada masa lalu, dalam pelaksanaannya pemerintah tetap perlu memperhatikan dan mematuhi berbagai aspek terkait, seperti aspek-aspek konstitusional, legal, kelembagaan, governance, dll.

“Terkait aspek konstitusional misalnya, pemerintah tetap harus menjaga terwujudnya penguasaan negara sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Dalam hal ini aspek penguasaan negara melalui pengelolaan oleh Holding BUMN harus tetap terjamin walau pun kelak terbentuk berbagai anak-anak perusahaan,” tuturnya.

Selain itu, tambahnya, dalam aspek legal dan kelembagaan, pembentukan holding migas tetap harus mematuhi berbagai UU dan peraturan yang berlaku. Misalnya dalam penyertaan modal negara pada PGN ke dalam Pertamina, maka pemerintah harus mematuhi mekanisme APBN dan mendapat persetujuan DPR, sesuai UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara.

“Jika hal ini belum ditempuh, maka meskipun PP pembentukan holding telah terbit, pemerintah mungkin dapat segera melakukannya, sehingga pelanggaran UU dapat dihindari,” katanya.

Sementara itu, lanjut Marwan, aspek legal dan kelembagaan lain misalnya adalah akan hilangnya kontrol Pemerintah dan DPR secara langsung pada BUMN yang kelak menjadi anak perusahaan holding, akibat perubahan bentuk perusahaan dari perusahaan negara menjadi perusahaan swasta. Penggabungan PGN sebagai anak usaha Pertamina juga akan berakibat pada hilangnya pengawasan keuangan negara oleh BPK, BPKP dan KPK atas anak usaha holding tersebut.

“Untuk itu pemerintah perlu menjamin dan mencari cara agar kehilangan berbagai mekanisme kontrol tersebut dapat diatasi, misalnya dengan menetapkan berbagai ketentuan dalam UU Migas baru atau penerbitan PP yang baru,” tukasnya.

Oleh karena itu, Marwan menegaskan, dengan pembentukan holding  migas, masyarakat pun dapat pula dirugikan. Misalnya jika selama ini, sesuai UU No.19/2003 tentang BUMN, rakyat mendapatkan pelayanan dari perusahaan negara melalui kewajiban pelayanan publik atau public service obligation (PSO), maka dengan berubah menjadi PT atau anak perusahaan Holding, berbagai pelayanan yang diterima tersebut akan hilang. Untuk itu, agar UU tidak dilanggar dan dukungan masyarakat tetap dapat diperoleh, pemerintah harus mencari jalan dan membuat aturan baru agar berbagai kewajiban PSO dapat terlaksana meskipun perusahaan tersebut telah berubah status.

“Dalam aspek finansial, pemerintah perlu menjamin bahwa mekanisme penggabungan perusahaan-perusahaan yang ada dalam holding tidak merugikan negara dan rakyat. Seperti diketahui, terdapat beberapa mekanisme yang dapat ditempuh jika ingin menggabungkan PGN dengan Pertagas. Misalnya, jika bisnis dan infrastruktur Pertagas digabungkan ke dalam PGN, maka nilai kontribusi peningkatan modal negara ke dalam PGN tersebut harus dihitung secara akurat dan objektif. Di sisi lain, nilai saham seluruh pemegang saham publik di PGN harus terdilusi, kecuali jika mereka turut berkontribusi meningkatkan modal secara proporsional dengan peningkatan modal negara tersebut,” katanya.

Menurut Marwan, pembentukan holding migas juga perlu diiringi dengan perbaikan aspek governance melalui tata kelola korporasi BUMN yang baik, atau good corporate governance (GCG). Pemerintah harus terus melakukan kontrol untuk menghindari praktik KKN seperti terjadi di masa lalu. Penerapan GCG dalam bentuk transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, kemandirian dan kewajaran yang  akan meningkatkan kinerja dan akuntabilitas BUMN perlu ditingkatkan. Untuk itu, seiring dengan pembentukan Holding BUMN Migas, perlu dilakukan perbaikan sistem GCG, misalnya melalui perbaikan dalam UU Migas atau penerbitan PP khusus tentang GCG holding.

Terdapat kecurigaan berbagai kalangan tentang motif dibalik pembentukan holding BUMN dan perubahan status perusahaan dari BUMN menjadi PT. Salah satunya misalnya adalah tentang adanya kebijakan yang sengaja dibuat agar berjalan lancar dan bebas dari pengawasan DPR, lembaga-lembaga hukum dan publik, sehingga dapat memberi keuntungan bagi oknum-oknum penguasa dan pengusaha (oligarki) tertentu. Kecurigaan ini bisa saja benar atau hanya spekulatif. Namun apa pun motifnya, pemerintah perlu membuktikan bahwa kecurigaan tersebut tidak benar, dan sejalan dengan itu, pemerintah perlu pula menjamin bahwa berbagai bentuk KKN dan penyelewengan tidak akan terjadi dalam holding-holding BUMN yang dibentuk.

Sebagai kesimpulan, IRESS menyambut baik pembentukan Holding BUMN Migas yang telah terbitnya PP Nomor 6 Tahun 2018. Pembentukan holding tersebut memang merupakan gagasan dan kebijakan yang telah disepakati di masa lalu dan sejalan dengan kebutuhan penyediaan energi yang berkelanjutan. Namun pelaksanaannya harus sesuai dengan amanat konstitusi, undang-undang yang berlaku dan kepentingan tata kelola perusahaan yang baik. Untuk itu, berbagai UU dan peraturan yang sejalan dengan itu perlu pula diterbitkan.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *