Ini Lanskap Pendanaan Pengembangan EBT

Jakarta, MinergyNews– Kecukupan finansial memiliki peran strategis dalam percepatan transisi energi. Pemerintah akan mengoptimalkan posisi Indonesia sebagai Presidensi G20 di tahun 2022 untuk menggaet pendanaan yang inovatif dan menguntungkan. Hal ini disampaikan secara langsung oleh Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana pada webinar Transisi Energi: Menuju Pembangunan Berkelanjutan di Jakarta, Kamis (17/2).

Dadan menjelaskan, pemerintah memiliki skema pendanaan yang variatif dalam mencari dukungan investasi antarnegera maupun lembaga internasional.

Indonesia terbuka bagi kerja sama internasional, termasuk dalam urusan investasi asing, skema pendanaan yang inovatif, serta transfer teknologi berdasarkan semangat kemitraan yang setara dan saling menguntungkan.

“Ini banyak sekali (skema pendanaan). Kami mendorong blended finance dan sedang menyusun Peraturan Presiden terkait hal ini. Bagaimana kita nanti akan memanfaatkan pendanaan tidak hanya di dalam negeri, tidak hanya yang berbasis komersial perbankan, tapi juga dari filantropis, mulitnasional yang bermaksud untuk mendukung pengembangan EBT di Indonesia,” katanya.

Model pendanaan blended finance, papar Dadan, merupakan dana perwalian perubahan iklim Indonesia akan memfasilitasi perolehan dana dari para donor, yaitu Asian Development Bank, European Investment Bank (hibah/pinjaman) dan World Bank.

Selanjutnya, SDG Indonesia Satu merupakan platform terintegrasi untuk mendukung proyek terkait Sustainable Development Goal yang terdiri atas empat pilar, yaitu fasilitas pengembangan, de-risking, pembiayaan dan ekuitas. Kemudian, investasi anggaran non pemerintah yang mendorong sektor swasta dalam pengembangan proyek infrastruktur strategis nasional. Skema ini memfasilitasi investor dalam pembiyaan ekuitas (pembiayaan ekuitas langsung dan instrumen investasi ekuitas).

Adapula Tropical Landscape Finance Facility (TLFF), bertujuan memanfaatakan pendanaan publik untuk penggunaan lahan yang berkelanjutan, termasuk di bidang restorasi ekosistem dan investasi EBT. Selain itu, ada skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha atau Public Private Partnership (KPBU/PPP) adalah kontrak jangka panjang antara pihak swasta dan entitas pemerintah untuk menyediakan aset layanan publik berupa Project Development Facility, Viability Gap Found, penjaminan infrastruktur & pembayaraan ketersediaan.

Terakhir, dari perbankan komersial dimana Otoritas Jasa Keuangan mewajibkan persentase tertentu dari portofolio kredit untuk pembiayaan proyek hijau.

Dadan mengutarakan, kebutuhan investasi supaya mencapai karbon netral di 2060 memerlukan biaya besar. “Kalau kita ingin bebas dari emisi karbon di 2060, secara total kita membutuhkan sekitar USD1 triliun atau USD29 miliar per tahun,” urainya.

Angka tersebut terdiri dari kebutuhan investasi di pembangkit EBT sebesar USD1.042 miliar dan transmisi yang mencapai USD135 miliar. “Transmisi ini biasanya satu paket (pembangunan pembangkit) supaya bisa beroperasi,” kata Dadan.

Dadan mengakui, biaya pengembangan PLT EBT semakain murah dan efisien. Berdasarkan IRENA Renewable Power Generation Cost in 2020, biaya pembangunan PLT EBT mengalami penurunan cukup signifikan secara global selama 10 tahun terakhir. Bahkan biaya operasi PLT EBT baru terutama PLT Surya dan PLT Bayu (termasuk biaya integrasi) dapat bersaing dengan PLTU eksisting skala 800 Mega Watt.

“Harga-harga pembangkit yang intermiten (surya & angin) semakin menurun. Dalam waktu 10 tahun, turunnya hampir 80% dari USD5.000 per kWh menjadi USD1.000 per kWh. Bahkan lelang yang dilakukan oleh PLN sudah bisa menembus di bawah PLTU batubara,” tutup Dadan.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *