Jakarta, MinergyNews– Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang belum lama ini diterbikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dinilai positif oleh Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana.
Hikmahanto mengungkapkan, dengan memperpanjang relaksasi ekspor mineral mentah sebagai keputusan yang realistis di tengah masih carut-marutnya program hilirisasi.
Namun, tambahnya, yang tidak kalah penting, dalam aturan tersebut diatur ketentuan tegas terhadap perusahaan tambang yang tidak melaksanakan hilirisasi.
Menyusul terbitnya PP no 1/2017, Menteri ESDM Ignasius Jonan menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No 5 dan No 6 sebagai aturan pelaksanaannya.
Menurut Hikmahanto, kebijakan tersebut merupakan keputusan paling realistis yang memungkinkan diambil pemerintah. “Saya kira itu yang terbaik. Meskipun setiap keputusan tentu tidak akan bisa memuaskan seluruh pihak,” ujarnya di Jakarta.
Dirinya mengatakan, pemerintah sebelumnya memang sudah memberikan waktu kepada perusahaan tambang untuk membangun smelter (pabrik pemurnian dan pengolahan) dalam jangka waktu 5 tahun.
Tapi nyatanya, lanjut Hikmahanto, sampai saat ini belum ada smelter yang terbangun kecuali nikel. Selain itu, ada juga yang mau bangun smelter, seperti PT Freeport Indonesia, namun menuntut kontrak diperpanjang terlebih dahulu.
“Kegiatan usaha tambang tidak bisa diberhentikan begitu saja. Makanya saya bilang, membuka kembali keran ekspor mineral mentah merupakan keputusan yang realistis,” cetusnya.
Oleh karena itu, Hikmahanto menuturkan, untuk melaksanakan kebijakan itu, pemerintah mencarikan jalan keluar. Misalnya, dalam PP, perusahaan tambang pemegang Kontrak Karya (KK) untuk mengubah izinnya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Dengan mengubah izin, perusahaan tambang bisa melakukan ekspor. Namun demikian, yang harus digarisbawahi, ekspor tidak diberikan begitu saja.
Selain itu, tambahnya, Pemerintah mengatur syarat-syarat ketat seperti harus membayar bea keluar ekspor dan harus membangun smelter dalam kurun waktu 5 tahun.
Sementara itu, guna memastikan pembangunan smelter jalan, nanti ada tim independen untuk mengawasi perkembangan pembangunan smelter yang akan dievaluasi setiap satu semester. “Selama ini kan lemahnya di pengawasan, nah itu yang akan dibereskan,” katanya.
Menurut Hikmahanto, PP nomor 1/2017 sudah berkeadilan, tidak berpihak kepada perusahaan tambang besar dan kecil. “Pasalnya, pemerintah sudah mengakomodasi seluruhnya seperti bauksit dan nikel yang tidak terserap didalam negeri, diberikan diberikan kesempatan untuk ekspor, dengan syarat membangun smelter,” pungkasnya. (us)