FSPPB Tolak IPO Anak Usaha Pertamina

Jakarta, MinergyNews– Secara tegas Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) konsisten menolak rencana Initial Public Offering (IPO) anak usaha Pertamina. Pasalnya, secara yuridis penjualan saham anak usaha Pertamina sebagai BUMN ke publik itu bertentangan dengan UU BUMN, bahkan tidak sejalan dengan pasal 33 UUD 1945. Sebagai wadah pekerja yang senantiasa berjuang menjaga kelangsungan bisnis maupun kedaulatan nasional, FSPPB berupaya keras agar rencana Menteri BUMN Erick Thohir tersebut sebaiknya dibatalkan.

Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Kepala Bidang Media FSPPB Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa dalam webinar bertajuk “Pemberlakuan IPO Pertamina Merupakan Penyelamatan Sumber Daya Strategis Nasional atau Genosida Terhadap Kedaulatan Energi Bangsa?” yang diselenggarakan Dewan Energi Mahasiswa (DEM) kawasan timur Indonesia, pada Sabtu (14/8/2021).

Capt Hakeng menegaskan, pihaknya telah berbagai upaya seperti pengajuan judicial review (JR) ke Mahkamah Agung, yang pada intinya bertujuan agar pemerintah sebaiknya memikirkan hal yang lebih krusial ketimbang mengutak-atik nomenklatur di Pertamina.

“Subholding maupun IPO tidak saja bermasalah dari aspek bisnis, tetapi juga bertentangan dengan aspek hukum,” ujarnya.

Menurut dirinya, terdapat sejumlah alasan kenapa subholding dan IPO harus ditolak. IPO berpotensi melanggar UU No.19 tahun 2003 tentang BUMN Pasal 77 huruf (c) dan (d), bahwa “Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat;” bunyi pasal 77 huruf (c).

Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi, demikian tulis pasal 77 huruf (d).

Selanjutnya, tambah Capt Hakeng, besarnya potensi Pajak yang harus dibayarkan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia NOMOR 52/PMK.010/2017 tentang penggunaan nilai buku atas pengalihan dan perolehan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran atau pengambilalihan usaha.

Selain itu, dirinya mengungkapkan, transfer pricing antar subholding berpotensi menyebabkan HPP (Harga Pokok Produksi) BBM meningkat. Jika ini terjadi maka yang dirugikan adalah rakyat karena harus membeli BBM dengan harga yang lebih mahal.

“Ditambah lagi manajemen yang kelihatannya efisien karena dari 11 hanya menjadi 6 direksi.  Padahal ternyata banyak penambahan direksi pada sub holding,” tuturnya.

Sementara itu, lanjut Capt Hakeng, potensi terjadinya Silo Silo antar subholding karena sudah menjadi entitas bisnis yang tersendiri dan mempunyai target kinerja masing-masing.  “Terjadi tumpang tindih yang terjadi antara sub holding,” katanya.

Menurut Capt Hakeng, kemampuan subholding dalam mengemban beban penugasan BBM PSO. Karena masing-masing subholding ditarget kinerja masing-masing, maka akan memungkin antar subholding saling bersaing ketimbang memikirkan kepentingan rakyat.

“Hilangnya Previlege yang diberikan oleh pemerintah ketika subholding melakukan IPO. Kita tahu ketika sub holding di IPO itu menjadi perusahaan privat. Selain itu IPO juga mengancam Ketahanan Energi Nasional dan Program Pemerataan Pembangunan (BBM 1 harga) tak berjalan optimal,” tukasnya.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *