Jakarta, MinergyNews– Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Arie Gumilar menyatakan bahwa, hingga saat ini pengembangan geothermal atau panas bumi selama ini masih terkendala persoalan rendahnya harga Biaya Pokok Produksi (BPP) dari geothermal yang dipatok Pemerintah.
Arie menuturkan, ego sektoral antar kementerian pun disinyalir menjadi penyebab tidak serempaknya langkah Pemerintah terhadap pengembangan panas bumi.
Padahal, menurut Arie, potensi panas bumi di Indonesia sangat besar sekitar 29 Gigawatt (GW). Namun yang sudah dimanfaatkan masih minim sekali, hanya sekitar 7% dari total potensi yang ada.
“Indonesia sendiri merupakan negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia yaitu menguasai sekitar 40% sumber panas bumi dunia. Panas bumi ini merupakan energi masa depan,” ujarnya dalam temu media di Restoran Bebek Bengil, Jakarta Pusat, Selasa (22/10/2019).
Dikesempatan yang sama, Ketua Umum Serikat Pekerja Pertamina Geothermal Energy (SP PGE) Bagus Bramantyo menambahkan, selama ini pengembangan panas bumi terkendala masalah rendahnya harga BPP listrik dari geothermal yang dibeli PLN.
Bagus menjelaskan, dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 tahun 2017 tentang pemanfaatan sumber energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik, harga jual energi dari panas bumi dirata-ratakan dan dibatasi 7,89 sen per kWh.
“Itu bagi kita kurang ekonomis,” tuturnya.
Namun, lanjut Bagus, tidak fair jika BPP dari panas bumi dipukul rata dan disamakan dengan BPP dari sumber energi lainnya. Alasannya, biaya untuk pengembangan geothermal dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) tidaklah murah.
“Untuk pengeboran satu sumur saja biayanya US$ 8 juta, dan biasanya kita bor tiga sumur. Sementara tingkat keberhasilannya hanya 50 persen,” tandasnya.