Jakarta, MinergyNews– Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) termasuk dalam proyek strategis nasional untuk penyediaan infrastruktur ketenagalistrikan. Diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pencapaian target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) 23% pada 2025 dan sebagai alternatif yang dapat menopang program transisi energi nasional dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca. Terbukti pembangkit panas bumi memiliki emisi gas rumah kaca yang sangat kecil, bahkan mencapai zero emission dengan teknologi binary. Pada peta jalan pengembangan PLTP, ditargetkan kapasitas terpasang pada tahun 2035 sebesar 9.300 MW. Pengembangan panas bumi membutuhkan waktu sekitar 7-10 tahun, dimulai dari kegiatan eksplorasi, eksploitasi hingga beroperasi.
Untuk mencapai target pengembangan tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencanangkan quick wins program eksplorasi panas bumi oleh Pemerintah (government drilling). Hal ini adalah upaya menurunkan risiko hulu sehingga diharapkan dapat meningkatkan keekonomian proyek PLTP dan menambah daya tarik investasi di sektor energi baru dan terbarukan dengan harga yang semakin kompetitif. Konfirmasi cadangan melalui penambahan data survei geosains hingga pengeboran eksplorasi pada prospek Cisolok-Cisukarame di Desa Sirna Rasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, menjadi momentum dan lokasi pertama pelaksanaan program pengeboran panas bumi oleh Pemerintah yang juga berada di kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Dalam waktu dekat juga akan dimulai pengeboran eksplorasi pada prospek Nage di Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
“Pelaksanaan proyek panas bumi merupakan kegiatan yang padat modal dan padat karya. Serangkaian multiplier effects berupa manfaat positif dapat kita peroleh dari pengembangan panas bumi ini, diantaranya penyerapan tenaga kerja, alih teknologi, penguatan infrastruktur lokasi yang bermanfaat dalam pertumbuhan ekonomi dan kemajuan masyarakat secara bertahap mengikuti fase pengembangan panas bumi” ujar Direktur Panas Bumi, Harris, pada sebuah kesempatan di Jakarta (8/9).
Pemerintah berkomitmen untuk terus mengupayakan penyediaan listrik bagi kesejahteraan masyarakat termasuk pemanfaatan panas bumi di Taman Nasional dengan tetap memperhatikan kelestarian kawasan konservasi. Kegiatan eksplorasi panas bumi di prospek Cisolok-Cisukarame yang sebagian berada di Taman Nasional Gunung Halimun Salak merupakan salah satu terobosan dalam penyediaan energi bersih untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan tetap bersinergi dengan pengelolaan kawasan termasuk konservasi terhadap keanekaragaman hayati.
Good engineering practices pemanfaatan panas bumi di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak telah diimplementasikan sejak tahun 1994 dengan beroperasinya PLTP Gunung Salak sebesar 377 MW. Pemanfaatan PLTP Gunung Salak hingga saat ini menjadi bukti bahwa panas bumi di Taman Nasional dapat bersinergi dalam menjaga kelestarian lingkungan kawasan hutan sekaligus sebagai salah satu pembangkit listrik terbesar dari sumber energi baru terbarukan pada sistem kelistrikan Jawa Madura Bali (Jamali).
Potensi sumber daya panas bumi Cisolok-Cisukarame diperkirakan sebesar 45 MW dengan rencana pengembangan PLTP sebesar 20 MW. Kegiatan penambahan data hingga pengeboran eksplorasi panas bumi telah memenuhi persyaratan perizinan dan aspek teknis pengusahaan panas bumi serta mengikuti kaidah Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lindungan Lingkungan (K3LL). Perizinan yang telah dipenuhi sebelum tajak pengeboran sumur eksplorasi, yaitu penyiapan dokumen UKL-UPL dan Persetujuan Lingkungan dari Pemda Kabupaten Sukabumi, Izin Penggunaan dan Pemanfaatan Air Permukaan (SIPPA) dari Pemda Provinsi Jawa Barat, dan persetujuan Pemanfaatan Jasa Lingkungan Panas Bumi (PJLPB) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Rencana pengembangan panas bumi Cisolok-Cisukarame telah tercakup dalam rencana tata ruang wilayah Kabupaten Sukabumi sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sukabumi Tahun 2012-2032. Selanjutnya terkait dengan status lahan pada kawasan hutan sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta peraturan turunannya menyatakan bahwa kegiatan pengembangan panas bumi yang meliputi eksplorasi, eksploitasi dan operasi di dalam kawasan konservasi termasuk Taman Nasional dapat dilaksanakan pada zona pemanfaatan melalui mekanisme pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi.
Dalam pemenuhan persyaratan pelaksanaan eksplorasi panas bumi di kawasan hutan, juga telah disusun dokumen lingkungan berupa UKL-UPL dengan memperhatikan rona awal dan aspek pengelolaan lingkungan, yaitu: kualitas udara dan air, kebisingan, hidrologi, kerusakan jalan, gangguan flora dan fauna, kestabilan lereng, sampah dan limbah, dan sosial budaya. Hal ini mengacu regulasi di bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahwa kegiatan panas bumi pada tahap eksplorasi yang tidak menimbulkan dampak penting dikecualikan dari kewajiban memiliki AMDAL atau cukup dengan UKL-UPL.
“Saat ini, pemanfaatan energi panas bumi sebagai pembangkit listrik sebesar 2.175,7 MW atau 9,2% dari total potensi sumber daya, kita terus bekerja keras untuk mencapai target dengan tetap mengutamakan aspek keselamatan dan keberlangsungan lingkungan”, tutup Harris.