Jakarta, MinergyNews– Salah satu perusahaan minyak dan gas (migas) multinasional yang berkantor pusat di Den Haag, Belanda, Shell akhirnya menuai kontroversi setelah menunjukkan dukungannya terhadap isu kontroversi dunia yaitu ‘Lesbian, Gay, Biseksual dan Trangender’ (LGBT).
Sebelumnya dalam akun Facebook resmi Shell pada 10 Oktober 2017 lalu, Shell secara terang-terangan menunjukkan dukungannya dalam kegiatan kampanye LGBT. “From Calgary to Manila and Rio to Amsterdam, we’re celebrating our #pride. #LGBT,” tulis akun Facebook Shell dalam sebuah postingan video yang memperlihatkan kegiatan kaum LGBT di berbagai kota tersebut.
Dan pada akhirnya postingan tersebut pun langsung menuai banyak komentar pedas. “I should STOP buying gaz from you SHELL effective today,” tegas salah satu netizen Fatma Omran dalam kolom komentar menunjukkan kekesalannya.
Selain itu Shell bahkan mengubah foto profil akun Facebook-nya dengan logo Shell dengan latar bendera warna pelangi, warna yang identik dengan gerakan kaum LGBT di dunia. “I won’t be buying Shell anymore,” tulis netizen lainnya bernama Amy Ames.
GM of External Relations PT Shell Indonesia, Haviez Gautama mengatakan, pihak perusahaan menganggap dukungan tersebut sebagai pengejawantahan dari upaya menciptakan iklim kerja inklusif.
“Dukungan Shell terhadap keberagaman merupakan wujud aspirasi kami untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif bagi karyawan kami di seluruh dunia dimanapun Shell beroperasi,” ujarnya kepada wartawan pekan lalu di Jakarta.
Haviez mengungkapkan, hal ini didasari rasa hormat terhadap sesama yang merupakan nilai inti kami. “Kami ingin karyawan kami mengetahui bahwa mereka diterima di Shell terlepas dari hal-hal yang membuat manusia berbeda seperti ras, agama, jenis kelamin, usia dan orientasi seksual,” tuturnya.
Sementara itu, tambahnya, inisiatif dan dukungan Shell terhadap keberagaman merupakan bagian dari nilai-nilai global Shell dan agenda sumber daya manusia kami. “Penting untuk diketahui bahwa hal ini tidak dimaksudkan untuk mengubah pandangan ataupun kepercayaan individu terhadap isu-isu seputar LGBT,” kata Haviez.
Di dalam situs resmi Shell di www.shell.com sendiri disebutkan bahwa perusahaan ini mulai terbuka untuk jaringan LGBT sejak tahun 1997. Dalam waktu cepat, jaringan LGBT tersebut menyebar ke sejumlah cabang Shell di banyak negara seperti Inggris, Belanda, Kanada, India, dan terakhir pada 2015 lalu di Afrika Selatan.
Ajakan boikot produk-produk Shell pun mulai merembet ke Indonesia. Termasuk dari Pengamat Energi yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS). Ia mengatakan seharusnya Shell sebagai perusahaan fokus berbisnis saja tak usah ikut-ikutan isu kontroversi seperti LGBT. “Boikot saja. Itu kebijakan korporasi yang menantang ajaran agama yang mengharamkan LGBT,” ucap Marwan, Sabtu (14/10).
Namun di Indonesia, LGBT memang dianggap dianggap sebagian besar masyarakat sebagai penyimpangan sosial dan mendapat kritikan tajam. Pemuka agama maupun tokoh masyarakat, hampir seluruhnya menolak perilaku LGBT.
Di lain kesempatan, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin mengatakan, MUI sudah mengeluarkan fatwa haram bagi LGBT. Adapun soal HAM, menurut Ma’ruf Amin, adalah perlindungan hidup, bukan untuk mengembangkan kaum LGBT. Perlindungan HAM, lanjut dia, tak memperbolehkan seseorang berperilaku menyimpang.
“Dia (LGBT) tidak boleh memperoleh kesempatan untuk mengembangkan diri atau menambah kelompok karena nanti menjadi suatu yang meresahkan masyarakat,” cetus Ma’ruf.
Di kesempatan terpisah, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Aqil Siradj mengatakan, sebagai salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia pun menolak dengan tegas paham dan gerakan yang membolehkan atau mengakui eksistensi LGBT. “LGBT mengingkari fitrah manusia,” tukasnya.