Jakarta, MinergyNews– Pengembangan teknologi Carbon Capture and Storage/Carbon Capture, Utilization and Storage (CCS/CCUS) diharapkan mampu memberikan kontribusi optimal pada capaian target Net Zero Emission (NZE) global. Langkah ini sejalan dengan kampanye yang dilakukan oleh Indonesia selaku Presidensi G20 di tahun 2022.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji mengutarakan urgensi pengembangan teknologi CCS/CCUS dalam capaian NZE, terutama di kawasan Asia Tenggara. “Sesuai peta jalan International Energy Agency (IEA), teknologi CCS/CCUS berkontribusi mengurangi emisi kumulatif secara global lebih dari 10 persen di tahun 2050. Bahkan carbon capture untuk CCUS di Asia Tenggara harus mencapai setidaknya 35 metrik ton (MT) CO2 pada tahun 2030 dan lebih dari 200 MT pada tahun 2050,” kata Tutuka pada G20 event series: Making CCS/CCUS Affordable: Enabling CCUS Deployment in G20 and Beyond di Jakarta, Rabu (13/4).
Tutuka menyoroti pemanfaatan CCS/CCUS merupakan salah satu strategi pengurangan emisi bagi anggota negara G20. “Beberapa anggota sudah memiliki kebijakan dan proyek skala besar, sebagian lain dalam proyek percontohan dan sisanya masih dalam tahap inisiasi,” jelasnya.
Bagi Indonesia, sambung Tutuka, CCS/CCUS juga memiliki peran ganda. Selain mendukung target penurunan emisi Indonesia, teknologi tersebut juga bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi minyak dan gas bumi (migas) melalui CO2-Enhanced Oil Recovery (EOR) atau Enhanced Gas Recovery (EGR). “Gas bumi punya peran penting sebagai sumber energi transisi sebelum mencapai 100% pembangkit listrik dari energi terbarukan,” tegasnya.
Studi maupun proyek CCS/CCUS di Indonesia sendiri tengah berjalan di beberapa Wilayah Kerja (WK) Migas, seperti Gundih, Sukowati dan Tangguh dengan total potensi simpanan CO2 sekitar 41 juta ton CO2. “Indonesia juga memiliki proyek CCS/CCUS potensial lainnya, seperti CCS untuk memproduksi Blue Amonia di Sulawesi Tengah, Studi CCS/CCUS Kalimantan Timur, Studi CCUS untuk Batubara ke DME, Arun CCS/CCUS, CCS Sakakemang dan Abadi CCS/CCUS. Semuanya masih dalam tahap studi atau persiapan, namun sebagian besar ditargetkan bisa onstream sebelum 2030,” papar Tutuka.
Penerapan CCS/CCUS diproyeksikan cukup efektif mengingat hasil kajian Puslitbang Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”, Indonesia memiliki potensi penyimpanan sekitar 2 giga ton CO2 yang tersebar di beberapa wilayah, di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Papua. Dan potensi saline aquifer 9,68 giga ton CO2 dari cekungan Sumatera Selatan dan Jawa Barat.
Bentuk Tim Pelaksana
Guna mendukung perkembangan CCS/CCUS di Indonesia, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi sudah membentuk tim untuk menyusun peraturan pelaksanaan kegiatan CCS/CCUS. Tim ini terdiri dari Kementerian ESDM, SKK Migas & BPMA, CoE CCS/CCUS ITB & LEMIGAS, Asosiasi Perminyakan Indonesia dan Kontraktor Migas.
Dalam pembahasan di dalam tim, ruang lingkup regulasi ini akan fokus pada penetapan tujuan untuk mengatur CCS atau CCUS melalui CO2-EOR, EGR atau ECBM di blok migas melalui empat aspek, yaitu aspek teknis, skenario bisnis, aspek legal termasuk program CCS/CCUS sebagai bagian dari PoD dan aspek ekonomi seperti potensi pendanaan dan insentif pihak ketiga.
“Draft aturan ini telah disampaikan kepada Pemerintah, lembaga publik/swasta, pusat penelitian & perusahaan dari Australia, Korea Selatan, Jepang, negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan juga Kanada, untuk mendapatkan umpan balik dan perbaikan. Saat ini sedang dilakukan finalisasi draft di Biro Hukum dan diusulkan menjadi salah satu prioritas yang akan disahkan tahun ini,” papar Tutuka lagi.
Lebih lanjut Tutuka memaparkan, industri juga memiliki banyak sumber CO2, tidak hanya dari migas. Integrasi dan kolaborasi semua sektor melalui CCS/CCUS Hub dan clustering diperlukan untuk meningkatkan kelayakan proyek CCS/CCUS dengan menggunakan fasilitas bersama dan berpotensi menekan biaya. Pada titik ini, pemetaan potensi depleted field & saline aquifer serta pengembangan infrastruktur transportasi CO2 untuk CCS/CCUS menjadi sangat penting.
Hub dan clustering CCUS juga dapat membuka kerjasama dengan seluruh pemangku kepentingan melalui pengelolaan CO2 regional. Pemanfaatan CO2 tidak hanya untuk EOR/EGR, tetapi juga dapat digunakan untuk memproduksi methanol dan dapat diintegrasikan untuk produksi blue ammonia atau blue hydrogen plus CCS/CCUS.
“Pemerintah Indonesia menyadari bahwa pengembangan CCS/CCUS membutuhkan kerja sama dan kolaborasi dengan semua pihak. Oleh karena itu, Pemerintah akan selalu mendukung semua pemangku kepentingan yang mempromosikan teknologi CCS/CCUS untuk diterapkan di Indonesia,” ungkap Tutuka.
Tantangan Harga
CCS/CCUS sendiri merupakan bagaian dari kesepakatan Conference of Parties (COP) Ke-26 di Glasgow, Skotlandia. Selanjutnya isu tersebut menjadi salah satu bagian dari bahasan utama pada Energy Transitions Working Gorup (ETWG) G20 Indonesia.
Chair of ETWG G20 2022 Yudo Dwinanda Priadi mengutarakan, skenario CCUS di kawasan regional ASEAN akan membutuhkan investasi jumbo sebesar USD1 miliar per tahun pada tahun 2030. Untuk itu, diperlukan program terobosan guna menekan emisi CO2 global dari 40 juta ton menjadi 5,6 miliar ton dalam kurun waktu 30 tahun ke depan.
“Tantangan utama teknologi CCS/CCUS adalah membuat harganya lebih terjangkau. Biaya untuk menangkap CO2 akan menyumbang porsi terbesar sekitar 70-75% dari total biaya CCUS. Ini bervariasi tergantung pada struktur geologi lokal, kedekatan dengan kawasan industri, dan dukungan peraturan pada proyek percontohan CCUS,” sambung Yudo.
Dalam aspek kebijakan dan regulasi di tingkat global, regional dan nasional harus disesuaikan agar pasar karbon dan penetapan harga karbon dapat mendukung pengembangan CCS/CCUS. Dalam model bisnis, skema bisnis yang lebih inovatif dapat diatur untuk membuat proyek CCS/CCUS layak dan dapat diterapkan.
“Untuk mencapai keterjangkauan solusi iklim ini, kita perlu memasukkan harga CCS/CCUS ke dalam biaya produksi, sambil meningkatkan regulasi yang solid di sektor migas. Jika langkah-langkah itu bisa dilakukan, setidaknya akan memungkinkan sektor migas dan juga sektor kelistrikan untuk menjalankan proyek CCUS dengan basis komersial,” kata Yudho.