Jakarta, MinergyNews– Terkait dengan pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut B. Pandjaitan yang menyatakan bahwa Pertamina adalah sumber kekacauan paling banyak di negeri ini (10/12/2019). Untuk itu, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara meminta agar Luhut segera mengklarifikasi ke publik.
Pasalnya, menurut Marwan, Pertamina merupakan salah satu BUMN utama yang mengelola dan menyediakan energi bagi rakyat. Maka apabila disimpulkan, jika Luhut mengatakan Pertamina adalah sumber kekacauan paling banyak, maka hal ini tidak bisa diartikan lain bahwa selama ini pengelolaan Pertamina bermasalah dan merugikan rakyat.
Marwan mengungkapkan, jika mencermati pernyataan Luhut, maka penyebab utama kekacauan berasal dari internal Pertamina, terutama direksi pada lapis pertama dan jajaran manajemen pendukung pada lapis kedua dan ketiga. Namun, Pertamina bukanlah lembaga otonom bebas, di atas manajemen Pertamina ada pejabat-pejabat eksternal yang menjadi komisaris.
Pertamina pun berada di bawah kendali Menteri BUMN, Menteri ESDM hingga Presiden Republik Indonesia. “Karena itu, rakyat pun layak menggugat pejabat-pejabat negara tersebut hingga ke tingkat Presiden. Para petinggi negara ini layak pula dituntut bertanggungjawab atas kekacauan pengelolaan Pertamina,” ucap Marwan dalam diskusi publik “Pertamina Sumber Kekacauan?!” yang diadakan IRESS di Jakarta, Kamis (19/12/2019).
Selain itu, lanjut Marwan, kekacauan berupa produksi migas turun, kilang BBM tidak terbangun, defisit neraca perdagangan dan defisit neraca berjalan telah berlangsung lama, minimal sejak Jokowi menjadi Presiden pada 2014.
“Karena itu, jika manajemen Pertamina telah menimbulkan kekacauan, minimal sejak 2-3 tahun lalu, lantas mengapa pemerintah tidak melakukan perbaikan? Bukankah para Menteri terkait dan Presiden bisa mengganti manajemen Pertamina, setiap saat? Mengapa pemerintah membiarkan para subordinates “pengacau” tetap bercokol di Pertamina?” ungkapnya.
Oleh karena itu, dirinya menegaskan, dengan kondisi seperti di atas, maka sebenarnya yang jauh lebih layak digugat rakyat untuk bertanggungjawab adalah sang pemimpin tertinggi, Presiden Jokowi. “Beliau membiarkan Pertamina dikelola oleh orang-orang bermasalah yang telah membuat pengelolaan energi nasional terpuruk, sampai-sampai menimbulkan terjadinyadouble deficit keuangan negara. Apalagi jika dicermati, ternyata penyebab kekacauan terkait kilang dan double deficit berada di luar kontrol manajeman Pertamina. Maka semakin jelaslah sebetulnya siapa yang bermasalah dan kacau, serta siapa yang harus bertanggungjawab,” paparnya.
Pernyataan Luhut, menurut Marwan, dapat pula diasumsikan bahwa kekacauan di Pertamina karena masih adanya mafia migas. Karena itu sebagai pendobrak, Ahok dibutuhkan untuk memberantas. Dalam hal ini, Marwan sangat skeptis karena sebelumnya terbuka kesempatan kepada pejabat yang pangkatnya jauh lebih tinggi dari Ahok untuk memberantas mafia migas, namun hal itu tidak dilakukan. Di mana menurut mantan Menteri ESDM Sudirman Said, pada 2015 KordaMentha telah menghasilkan temuan berbagai pelanggaran mafia migas dan siap dilaporkan kepada KPK. “Tetapi justru Presiden Jokowi mengurungkan pelaporan tersebut, entah karena apa dan siapa. Jika committed memberantas mafia, mestinya laporan ke KPK tersebut sudah dilakukan sejak akhir 2015 yang lalu,” tantangnya.
Bagi Marwan tampaknya ucapan Luhut tentang Pertamina sebagai sumber kekacauan hanya upaya mengampanyekan Ahok. “Sangat tidak layak bagi LBP mengkampanyekan Ahok. Apalagi kampanye dilakukan sambil menuduh dan mengorbankan lembaga/BUMN dan para pejabat di dalamnya sebagai sumber kekacauan,” tandasnya.