Jakarta, MinergyNews– Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan penerbitan aturan Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2021 mengenai standar modul surya fotovoltaik (PV) silikon kristalin akan melindungi keamanan dan keselamatan konsumen. Hal ini disampaikan oleh Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal EBTKE Chrisnawan Anditya pada acara Energi Kolaborasi Series secara virtual pada Jumat (19/2).
“Bisa dibayangkan ketika nanti masyarakat memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), tetapi yang diperjualbelikan tidak memenuhi standar atau ketentuan itu akan merugikan masyarakat,” kata Chrisnawan.
Lebih lanjut, Chrisnawan menegaskan produk modul fotovoltaik silikon kristalin wajib memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) melalui pembubuhan tanda SNI. “Ini sudah common practice yang diterapkan oleh dunia internasional dan merujuk pada International Electrotechnical Commission (IEC),” ungkapnya.
Melalui kewajiban SNI, sambung Chrisnawan, mampu mengukur persyaratan dan prosedur uji untuk diaplikasikan di seluruh dunia. “Dengan memberikan tanda SNI ini masyarakat sudah yakin produk PLTS ini sudah melewati proses pengujian, pengawasan sehingga keandalan mutu tetap terjaga,” bebernya.
Pihak yang wajib mengajukan sertifikasi SNI adalah produsen dan importir, yaitu badan usaha yang melakukan impor modul fotovoltaik silikon kristalin untuk dipasarkan di dalam negeri dan merupakan perwakilan resmi dari produsen di luar negeri.
PLTS sendiri menjadi prioritas utama Pemerintah di dalam mengejar target bauran EBT sebesar 23% pada tahun 2025. Hal ini mempertimbangkan potensi dan jangka waktu pembangunan yang relatif lebih cepat dari pembangkit yang lain. “Indonesia ini potensi energi surya 207,8 Giga Watt (GW). Saat ini pemakainya 153 Mega Watt. Kedua, PLTS cepat dibangunnya dan diintalasai. Waktu pembangunannya relatif cepat bisa sampai 1 tahun,” ungkap Chrisnawan.
Pertimbangan terkahir adalah biaya teknologi yang makin efisien dan kompetitif dari tahun ke tahun. “Harganya drop drastis. Tahun 2013 harga PLTS adalah 20 sen dolar (per kWh), lima tahun terakhir sekitar 10 sen, PLTS Cirata menjadi 5,81 sen, sudah drop. Yang terakhir ada investor yang berminat di harga 4 sen,” rinci Chrisnawan.
Turunnya harga, Chrisnawan, disebabkan beberapa hal, antara lain ongkos teknologi global yang turun, penetrasi pasar yang semakin banyak, mekanisme lelang, dan kemudahan izin. “Semakin banyak orang pasang, artinya ongkosnya akan semakin turun. Kemudahan izin juga turunkan cost,” ungkapnya.
Melihat potensi biaya yang terus turun, maka diharapkan akan semakin banyak investor berminat untuk mengembangkan PLTS. Hal ini dinilai akan menjadi sinyal positif bagi investor. “Kita harapkan ini jadi sinyal positif investor turunkan biaya pengembangan EBT solar (surya),” pungkas Chrisnawan.