Jakarta, MinergyNews– Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Mineral Indonesia (AP3I) menyatakan bahwa AP3I yang terdiri dari 23 perusahaan smelter diantaranya sektor mineral nikel, tembaga, besi, mangan, zircon, timah, dan silica yang sebagian besar berdiri pada kurun waktu tahun 2014 – 2016 telah merealisasikan investasi yang totalnya menembus angka US$20 miliar.
Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Ketua Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Mineral Indonesia (AP3I), Prihadi Santoso dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (10/1).
Sebagaimana diketahui, dalam waktu dekat ini Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan segera memutuskan arah kebijakan ekspor mineral konsentrat lantaran batas waktu segera berakhir pada 11 Januari 2017. Kebijakan itu akan tertuang dalam perubahan keempat Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
“Meminta kepada Presiden RI untuk tetap konsisten menjalankan dan menyelamatkan amanah UU No.4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara dari upaya pemberian relaksasi ekspor mineral ore/bijih. Relaksasi dapat menimbulkan ketidakpastian bagi investor yang telah menanamkan modalnya di Indonesia serta berpotensi untuk memberikan sentimen negatif ke sektor lainnya, termasuk perbankan Indonesia,” ujarnya.
Oleh karena itu, Prihadi berharap kepada Presiden RI Joko Widodo untuk segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti PP No.1 tahun 2014 agar tidak terjadi kekosongan/kevakuman landasan hukum bagi kelanjutan operasional usaha pertambangan dan pengolahan mineral (smelter) di dalam negeri setelah berakhirnya batas waktu ekspor mineral pada tanggal 11 Januari 2017 agar adanya jaminan kepastian hukum bagi kegiatan usaha pertambangan dan pengolahan mineral (smelter).
Selain itu, ungkapnya, pihaknya juga meminta kepada Pemerintah khususnya Kementerian ESDM untuk lebih memperhatikan kelangsungan operasional perusahaan smelter di Indonesia terkait kepastian pasokan bahan baku dan menghindari timbulnya conflict of interset dimana Kementerian ESDM sebagai regulator di satu sisi dan Kementerian ESDM sebagai pembina perusahaan tambang di sisi yang lain.
“Hiruk pikuk berita relaksasi mineral mentah akhir-akhir ini menimbulkan polemik yang berdampak langsung pada harga logam dunia, sebagai contoh untuk logam nikel, dimana LME Nikel turun dari semula US$ 11,100/Ton Ni (rata-rata Des-Nov 2016) menjadi US$ 10,148/Ton Ni pada awal Januari 2017,” imbuhnya.
Sementara itu, lanjutnya, untuk menjaga iklim investasi pembangunan smelter yang saat ini sedang berlangsung, maka pihaknya berharap perhatian Presiden dan para Pemangku Kepentingan untuk mengawal kebijakan Pemerintah dalam meningkatkan nilai tambah sebagaimana diamanatkan UU No.4 Tahun 2009 tentang Minerba dan UU No.3 tahun 2014 tentang Perindustrian. (us)