Jakarta, MinergyNews– Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melakukan konsolidasi dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia (BI) terkait perbedaan data perdagangan minyak dan gas bumi. Dengan konsolidasi ini, diharapkan ke depannya dapat diperoleh data yang sama bagi semua pihak.
Penegasan itu disampaikan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar usai peluncuran Buku Neraca Gas Bumi Indonesia 2018-2027, Senin (1/10).
Wamen menjelaskan, perbedaan data perdagangan migas antara Kementerian ESDM dengan BPS dan BI disebabkan beberapa komponen produk yang dicatat oleh dua instansi tersebut, berbeda dengan Kementerian ESDM. BPS mencatat 58 jenis produk, sedangkan Kementerian ESDM 29 jenis.
Sebagai contoh, produk lubricant dimasukkan dalam komponen perdagangan migas oleh BPS. Sementara Kementerian ESDM tidak memasukkan produk tersebut karena merupakan domain Kementerian Perindustrian. Sedangkan perbedaan data dengan BI, antara lain tidak dimasukkannya biaya jasa. ‘Kita akan rekonsiliasi datanya sehingga nantinya kita akan mempunya data yang sama,”ujar Arcandra.
Terkait data perdagangan migas, berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga Agustus 2018 total nilai ekspor US$ 10,19 miliar dan impor US$ 17,236 atau terjadi defisit 7,33%. Defisit migas ini, antara lain dipengaruhi oleh harga minyak dunia. Defisit yang terjadi pada 2018, bukan terbesar yang terjadi selama ini. Pada tahun 2013, defisit migas mencapai US$ 8,691 miliar. Bahkan pada 2014, naik menjadi US$ 11,893 miliar.
Dia memperkirakan, defisit migas yang terjadi pada 2018, sedikit lebih besar dibandingkan tahun 2017 yang mencapai US$ 7,707 miliar. “Prognosa kita di 2018 (defisit) mungkin agak lebih besar dari 2017. Kemungkinan besar. Tapi apakah akan lebih tinggi dari 2013-2014? Kan tinggal 3 bulan lagi, nanti kita lihat,” tutupnya.