Jakarta, MinergyNews– Pemerintah c.q. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi bersama dengan Global Gas Flaring Reduction (GGFR), World Bank berkomitmen untuk mempercepat pengurangan Gas Suar pada kegiatan Minyak dan Gas Bumi di Indonesia.
“Kami berkomitmen untuk belajar dan bekerjasama dengan World Bank dan stakeholders untuk mempercepat pengurangan Gas Suar”, ungkap Direktur Teknik dan Lingkungan Minyak dan Gas Bumi, Dra. Soerjaningsih, M.K.K.K. pada workshop “Indonesia Pathway to Zero Routine Flaring by 2030” bersama GGFR, World Bank, yang dihadiri perwakilan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Migas, serta stakeholder terkait (13/09).
Flaring atau Gas Suar merupakan gas yang dihasilkan pada kegiatan eksplorasi & produksi atau pengolahan minyak atau gas bumi, yang dibakar karena tidak dapat ditangani oleh fasilitas produksi atau pengolahan yang tersedia, sehingga belum termanfaatkan.
Pada sisi yang lain konstitusi mengamanatkan untuk memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) secara efisien. Terkait hal tersebut Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan mengenai Gas Suar.
Peraturan Menteri ESDM No. 31/2012 tentang Pelaksanaan Pembakaran Gas Suar Bakar (Flaring) Pada Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi, yang mewajibkan perusahaan untuk mengurangi Gas Suar dan Peraturan Menteri ESDM No. 32/2017 tentang Pemanfaatan dan Harga Jual Gas Suar Pada Kegiatan Usaha Hulu Migas.
Melalui workshop tersebut, Indonesia dapat belajar bahwa ada beberapa pilihan teknologi agar Gas Suar dapat dimonetisasi. Diantaranya teknologi skala kecil atau skala mikro LNG, Micro GTL, Metanol, CNG atau pembangkit listrik yang dapat dipindahkan. Selain itu ada juga beberapa mekanisme pembiayaan yang dapat mempercepat pemanfaatan Gas Suar.
Soerjaningsih menambahkan bahwa disamping teknologi dan pembiayaan maka kebijakan dan regulasi juga sangat penting untuk monetasi Gas Suar. “Oleh karena itu Pemerintah Indonesia juga siap memperbaiki regulasi yang telah ada apabila diperlukan,” imbuhnya.
Zero Routine Flaring by 2030 yang diprakarsai World Bank sendiri bertujuan untuk menyatukan Pemerintah, Perusahaan Minyak dan Lembaga Pembangunan untuk bekerja sama menghilangkan Gas Suar rutin tidak lebih dari tahun 2030.
Hal ini mengingat bahwa Gas Suar menyumbang perubahan iklim dan lingkungan melalui emisi CO2, Black Carbon, dan pollutant lainnya. Gas Suar juga membuang energi bernilai yang dapat digunakan untuk memajukan pembangunan berkelanjutan bagi negara penghasil.
Inisiatif World Bank tersebut senada dengan apa yang menjadi perhatian Pemerintah Indonesia selama ini. Ahmad Lutfi S.T. M.Sc. MSE, Kepala Seksi Keselamatan Lingkungan Migas mengungkapkan bahwa “Indonesia telah menjadi endorser (pendukung) dan menjadi bagian untuk tercapainya Zero Routine by 2030.” ungkapnya
Dukungan tersebut juga merupakan bagian dari komitmen Pemerintah Indonesia untuk berkontribusi dalam Reduce Green House Gas (GHG) Emission sebagaimana diamanatkan pada Paris Agreement dalam Conference of the Parties (COP) 21, imbuh Lutfi.
Berdasarkan data satelit yang diluncurkan oleh GGFR World Bank, Indonesia menempati peringkat 15 Gas Suar dari Eksplorasi dan Kegiatan Produksi. Pada 2017, Gas Indonesia dari kegiatan eksplorasi dan produksi berkontribusi atas Flaring Routine rata-rata sebesar 179 MMSCFD.
Meski demikan, ukuran Gas Suar rata-rata per satu lokasi (lapangan) sebenarnya cukup kecil yaitu 1–5 MMSCFD. Gas Suar tersebut telah dimanfaatkan untuk LPG Sekayu, Bekasi, Cirebon dan CNG di Sidoarjo. “Dengan volume Gas Suar yang sangat sedikit, sebenarnya merupakan tantangan tersendiri baik dari sisi keteknikan maupun finansial,” tambah Soerjaningsih.
Dengan workshop ini, Soerjaningsih berharap memperoleh pengalam best practise dari penggunaan Gas Suar di seluruh dunia, di mana para ahli yang terlibat dapat memberi wawasan dan strategi baru untuk mempercepat program Pemerintah dalam mengurangi gas suar.
Hadir sebagai pembicara pada workshop tersebut diantaranya Fransisco Sucre, GGFR Regional Coordinator, World Bank, Barend Van den Berg (GGFR), Ign. Totok Sugiarto (Pertamina), Paramita Widiastuti (Lemigas), Thyl Kint (IFC), dan David Santley (Energy & Extractives, World Bank.