Marwan Batubara, Direktur Eksekutif IRESS. Disampaikan pada Seminar FPKS & IRESS: “Menuntut Pengelolaan Blok Rokan oleh BUMN” pada Senin, 30 Juli 2018 di Ruang GBHN, Gedung Nusantara V, MPR RI, Senayan, Jakarta.
Kementerian ESDM (KESDM) saat ini sedang mengevaluasi proposal Chevron untuk kembali mengelola Blok Rokan 20 tahun ke depan sejak 2021. Kesempatan Chevron untuk menjadi operator pengendali Blok Rokan ini sangatlah besar karena memang telah dengan sengaja dirintis dan didukung oleh KEDSM melalui diterbitkannya Pemen ESDM No.23/2018. Niat busuk pemerintah ini harus dihentikan karena berbagai alasan seperti diuraikan berikut.
Pertama, sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.36/PUU-X/2012 tentang 5 aspek penguasaan negara, pengelolaan WK-WK migas harus berada di tangan pemerintah melalui BUMN. Dengan demikian, jika kontrak WK Rokan diperpanjang, maka terjadi pembangkangan konstitusi, dan pelakunya, dalam hal ini Kepala SKK Migas, Dirjen Migas, Menteri ESDM dan Presiden RI, telah melakukan pemufakatan untuk melanggar UUD 1945, dan untuk itu layak diproses sesuai Pasal 7B UUD 1945.
Kedua, Pasal 4 UU Energi No.30/2007 menyatakan guna mendukung pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan energi nasional, maka sumber daya energi fosil, panas bumi, hidro skala besar, dan sumber energi nuklir dikuasai negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Karena itu, setiap upaya untuk menjauhkan BUMN dari pengelolaan SDA migas dapat dianggap merongrong peningkatan ketahanan energi nasional dan menghambat upaya pembangunan berkelanjutan.
Ketiga, dengan terbitnya Permen ESDM No.23/2018 yang memprioritaskan pengelolaan WK-WK migas yang akan berakhir KKS-nya kepada kontraktor eksisting, maka KESDM telah melapangkan jalan kepada Chevron untuk terus bercokol di Blok Rokan, tanpa peduli amanat konstitusi dan kepentingan strategis nasional. Padahal sesuai urutan peraturan perundang-undangan nasional (UU No.12/2011) status Permen berada jauh di bawah konstitusi. Bagaimana mungkin KESDM tidak paham dan malah nekat melanggar UU ini?
Keempat, guna menjamin ketahanan energi nasional, maka dominasi BUMN atau National Oil Company (NOC) dalam menguasai blok-blok domestik dan global merupakan hal yang lumrah dan menjadi tren yang terjadi di seluruh negara di dunia. Pemerintahan Jokowi menjadi anomali atas tren dunia tersebut, sambil mencari-cari alasan sumir, absurd, tidak logis dan manipulatif, yang justru mempersilakan asing untuk terus mendominasi pengelolaan migas di Indonesia.
Kelima, Chevron telah bercokol puluhan tahun di Blok Rokan, serta telah memperoleh pula perpanjangan kontrak satu kali (20 tahun) mengelola WK tersebut. Sesuai Pasal 14 UU Migas No.22/2001, perpanjangan kontrak hanya dapat diberikan selama 20 tahun. Ada apa di balik rekayasa Permen No.23/2018 yang masih akan memberikan perpanjangan kontrak kepada Chevron, dan nekat melanggar ketentuan Pasal 14 UU Migas tersebut?
Keenam, dalam Siaran Pers “77 Tahun Memproduksi Migas di Indonesia”, Chevron menyebutkan telah memproduksi 13 miliar barel minyak dari lapangan-lapangan migas terutama di Riau dan sebagian kecil di lepas pantai Kalimantan Timur. Dengan besarnya minyak yang diproduksi, berarti Chevron telah menikmati puluhan miliar US$ dari pengelolaan Blok Rokan. Apakah potensi keuntungan besar tersebut masih akan diberikan kepada asing?
Ketujuh, Pasal 6 dan Pasal 7 Permen ESDM No.23/2018 telah membuka peluang kepada kontraktor eksisting (asing) untuk dipersaingkan dengan BUMN. Padahal kontraktor asing ini secara finansial, teknologi, SDM, manajemen, pemilikan data, dan lain-lain, pasti lebih unggul dibanding BUMN kita. Alangkah naif pemerintahan negara ini yang tega mempersaingkan Chevron yang berada pada peringkat ke-45 Fortune Global 500 (2017) dengan Pertamina milik rakyatnya sendiri yang berada pada peringkat ke-289 (2017). Padahal pemerintah mempunyai hak untuk langsung menunjuk Pertamina. IRESS menganggap proses pembandingan ini sumir, absurd, memalukan dan tidak bermartabat!
Kedelapan, selama puluhan tahun Blok Rokan merupakan WK migas penghasil minyak terbesar di Indonesia. Tahun 2017 lalu rata-rata produksinya 220.000 barel per hari (bph), dan diperkirakan akan tetap di atas 150.000 bph dalam 10-20 tahun setelah 2021. Tidak tergantung apakah biaya produksinya lebih mahal karena harus menggunakan teknologi EOR, namun ekstra biaya tersebut akan ditanggung negara, baik jika menggunakan “skema lama”, cost recovery maupun “skema baru”, gross split. Dengan demikian, WK migas ini masih akan memberikan keuntungan yang sangat besar bagi pengelola. Karena itu, tak heran jika Chevron akan berupaya maksimal tetap mengelola WK Rokan. Kok pemerintah malah memihak asing?
Kesembilan. jika suatu WK migas dikelola Pertamina, maka seluruh produksi minyak masuk ke kilang dalam negeri, termasuk porsi bagi hasil (split) bagian kontraktor (contractor entitlement). Hal ini tentu akan mengurangi impor minyak dan juga mengurangi defisit neraca perdagangan nasional. Namun sebaliknya, jika WK migas tersebut dikelola oleh asing, terutama pada saat harga minyak turun, maka dengan sistem yang ada, kontraktor asing akan membawa minyak bagian mereka ke luar negeri. Hal ini jelas akan meningkatkan impor minyak mentah dan defisit neraca perdagangan!
Jika kontraktor asing diminta untuk menjual entitlement-nya di dalam negeri (guna diolah kilang Pertamina), maka mereka selalu meminta berbagai macam insentif yang merugikan negara. Hal seperti ini telah dialami oleh pemerintah dengan Chevron pada WK migas Blok Rokan. Saat harga minyak rendah pada 2015-16, porsi entitlement bagi Chevron membesar (karena split dibayar dengan minyak, in kind) dan Chevron menolak menjual ke Pertamina. Akibatnya kilang Dumai kekurangan pasokan, dan Balongan hampir tidak dapat jatah pasokan minyak mentah sama sekali. Sehingga Pertamina harus mengimpor minyak yang kurang sesuai dengan spesifikasi kilang dan harganya pun yang lebih mahal.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa di samping harus memberi insentif yang merugikan keuangan negara, memperburuk defisit neraca perdagangan, dominasi Chevron di Blok Rokan telah pula memperburuk keamanan pasokan minyak mentah bagi kilang minyak Dumai dan Balongan (energy security menurun). Apakah berbagai kerugian ini masih akan dilanjutkan pemerintah dengan menyerahkan Blok Rokan pada Chevron?
Kesepuluh, saat kampanye Pilpres 2014 Presiden Jokowi mengatakan akan menjadikan Pertamina sebagai tuan di negeri sendiri, mengungguli Petronas dalam 5 tahun (4/7/2014). Wapres JK pun pernah menyatakan kontrak migas yang telah berusia di atas 25 tahun tidak perlu diperpanjang (17/7/2012). Jika Presiden ingin menunaikan janji kampanye dan Wapres ingat ucapannya, maka kontrak Rokan mestinya tidak diperpanjang. Dengan memperoleh WK Blok Rokan, maka otomatis Pertamina akan dapat meningkatkan aset, produksi, pendapatan dan kinerja bisnis, serta menjadi produsen migas terbesar di negeri sendiri.
Peningkatan status di atas hanya dapat terjadi jika Pertamina ditetapkan sebagai custodian seluruh cadangan terbukti migas nasional, memperoleh hak pengelolaan WK-WK yang kontraknya berakhir, memperoleh tambahan penyertaan modal pemerintah (PMN), termasuk memperoleh alokasi APBN untuk membangun kilang-kilang baru dan merevitalisasi kilang-kilang tua. Ternyata hak kustodian dan alokasi APBN belum didapat, serta WK-WK habis kontrak tidak sepenuhnya diberikan, terutama dengan terbitnya Permen ESDM No.23/2018. Janji ingin menjadikan Pertamina mengungguli Petronas hanya omong kosong!
Dengan berbagai alasan yang diuraikan di atas, maka kita pantas mempertanyakan mengapa Pemerintah RI dan KESDM justru membangkang terhadap amanat konstitusi, mengabaikan kepentingan strategis dan ketahanan energi nasional, serta nekat melanggar sejumlah ketentuan UU? Jika proses perpanjangan yang dilindungi dengan Permen ESDM No.23/2018 tersebut terus berlanjut, maka berbagai spekulasi pun dapat muncul, termasuk adanya dugaan kemungkinan terjadinya KKN dan perburuan rente oleh oknum-oknum penguasa dan asing yang terkait.
Proses yang tidak mematuhi prinsip-prinsip good governance yang melibatkan oknum-oknum birokrasi sangat potensial menimbulkan KKN, seperti terjadi pada Blok WMO. Salah satu cara untuk mencegah adalah dengan memberi peluang kepada BUMN mengundang partisipasi kontraktor lain ikut mengelola suatu WK migas secara B-to-B melalui proses tender. Proses seperti inilah yang mestinya didukung, disupervisi dan dikawal oleh KESDM, bukan malah melapangkan dominasi asing di tengah tingkat ketahanan energi yang terus terpuruk!
Pemerintah dan DPR serta KPK harus memastikan bahwa dugaan tindakan KKN di atas tidak akan terjadi dalam perpanjangan kontrak Blok Rokan. Untuk membuktikan hal tersebut kita menuntut pemerintah, sesuai Pasal 33 UUD 1945 dan UU-UU berlaku, untuk segera menyatakan akan menyerahkan pengelolaan Blok Rokan kepada Pertamina. Pemerintah pun diminta untuk segera mengumumkan besarnya cadangan terbukti migas yang masih tersisa pada Blok Rokan yang kelak diperhitungkan sebagai PMN kepada Pertamina.
KPK harus terlibat aktif memonitor dan mengawasi proses perpanjangan Blok Rokan yang melibatkan dana puluhan triliun rupiah. Tidak sepantasnya KPK lebih fokus untuk kegiatan pencitraan lembaga KPK sendiri, dan bekerja untuk kepentingan politik kalangan tertentu dalam berbagai kasus OTT yang nilai korupsinya hanya ratusan juta atau miliaran Rp, atau justru melindungi koruptor tertentu dengan alasan yang bersangkutan tidak punya niat jahat!
IRESS pun menghimbau seluruh anak bangsa untuk terlibat aktif mengadvokasi dan mengawal hingga kembalinya pengelolaan Blok Rokan kepada BUMN bangsa sendiri. Sebagai negara yang sebagian oknum-oknum penguasanya mengidap moral hazard, kegiatan advokasi memperjuangkan kepentingan negara dan hak rakyat perlu dilakukan secara intensif dan berkelanjutan. Jika penunjukan Pertamina belum juga ditetapkan Presiden Jokowi, maka seluruh anak bangsa diharapkan siap melakukan berbagai bentuk advokasi untuk waktu yang lama, sampai Blok Rokan dikelola oleh perusahaan milik bangsa sendiri.