Jakarta, MinergyNews– Terkait dengan keputusan Menteri BUMN , Rini Soemarno, yang tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menteri BUMN Nomor 39/MBU/02/2018 tentang Pemberhentian, Perubahan Nomenklatur, Pengalihan Tugas Anggota Direksi Pertamina adalah cacat hukum.
Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Pakar Hukum Ekonomi dari Universitas Hasanuddin, Makasar, Juajir Sumardi kepada wartawan saat ditemui di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Timur, Jakarta, Selasa (10/7).
Juajir menegaskan, salah satu yang dinilainya bertentangan dengan konsititusi adalah penghapusan Direktorat Gas di PT Pertamina (Persero).
Akibat cacat hukum tersebut, kini proses persidangan atas gugatan dari Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) di Pengadilan Tata Usaha Negeri ( PTUN ) Jakarta Timur masuk babak baru.
Menurut dirinya, penghapusan Direktorat Gas di Pertamina condong ke arah politisasi hanya demi memuluskan akuisisi PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) terhadap PT Pertamina Gas (Pertagas).
Juajir menambahkan, sebagaimana diketahui di dalam PGN terdapat saham publik yang mayoritas didominasi oleh kepemilikan asing.
Akibat dari SK Menteri BUMN tersebut, membuat tata kelola gas nasional menjadi sangat rawan dimainkan oleh swasta termasuk asing. Sementara itu, amanat dalam UUD 45 Pasal 33 ayat 2 disebutkan bahwa seluruh kekayaan alam harus dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat Indonesia dan harus dikuasai oleh negara.
“Ternyata arah persoalan gas ini akan diserahkan kepada PGN, sedangkan PGN diposisikan sebagai anak usaha dari holding (migas). Kalau sebagai anak usaha holding maka status hukumnya akan berubah bukan lagi menjadi BUMN tapi menjadi badan usaha milik swasta sehingga kontrol negara terhadap anak usaha ini menjadi tidak efektif dibandingkan apabila persoalan gas itu ada di Pertamina. Nah ini suatu bentuk pelanggaran,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, ada upaya akal-akalan pemerintah khususnya dari Kementerian BUMN untuk mengelabui rakyat dengan alasan efisiensi di tubuh Pertamina saat penghapusan Direktorat tersebut ditetapkan. Padahal semestinya Direktorat itu harus tetap ada karena faktanya kebutuhan gas menjadi kebutuhan utama masyarakat sehingga tidak tepat apabila pemenuhan kebutuhan hajat hidup orang banyak tersebut dikelola oleh perusahaan bukan BUMN.
“Ada indikasi yang arahnya untuk mengurangi potensi penguasaan dan pengelolaan Pertamina terhadap gas karena akan diserahkan kepada PGN, padahal PGN bukan menjadi BUMN . Seharusnya dalam pengelolaan (gas) itu adalah Pertamina bukan swasta,” tandasnya.