IRESS: Aksi Korporasi Akuisisi Pertagas-PGN akan Rugikan Negara

Jakarta, MinergyNews– Pada hari ini, Kamis (28/6), Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), serikat pekerja PT Pertamina Gas dan Indonesia Resources Study (IRESS) ramai-ramai melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait rencana Kementerian BUMN untuk mengonsolidasikan bisnis PT Pertamina Gas (Pertagas) dengan Perusahaan Gas Negara (PGN) melalui skema akuisisi.

Pasalnya, menurut Direktur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara, aksi korporasi itu disinyalir dapat merugikan negara dalam jumlah yang cukup besar, disamping juga prosesnya yang menyimpang dari amanah Undang-undang lantaran posisi Pertagas yang 100 persen milik negara akan diakuisisi oleh PGN yang 43 persen sahamnya dimiliki publik.

Marwan mengungkapkan, setidaknya ada tujuh catatan penting terkait akuisisi Pertagas yang diserahkan kepada KPK, dimana masing-masing poin tersebut, jika itu tidak diindahkan oleh pengambil kebijakan maka proses akuisisi tersebut menjadi bertentangan dengan aturan yang berlaku.

“Kita menyampaikan setidaknya ada tujuh alasan, bahwa ini (Proses akuisisi Pertagas oleh PGN) sebaiknya dihentikan karena berpotensi melanggar aturan yang ada dan menyebabkan kerugian negara,” katanya kepada wartawan saat ditemui di gedung KPK di Jakarta.

Marwan menjelaskan, ketujuh catatan penting itu adalah, pertama, jika ingin menjamin dominasi penguasaan negara sesuai konstitusi, seharusnya perusahaan yang pemilikan saham negara yang lebih tinggilah yang mengakuisisi perusahaan yang saham negaranya kecil, bukan sebaliknya.

“Dalam hal ini Pertagas merupakan anak usaha Pertamina yang 100 persen milik negara, sehingga Pertagas juga 100 persen milik negara. Sedangkan PGN, 43 persennya ada saham publik, dimana kepemilikan Asing juga dominan,” ujarnya.

Point kedua, tambah Marwan, dengan terus turunnya laba bersih PGN dalam 5 tahun terakhir, berkisar dari US$891 juta pada 2012 menjadi US$143 juta pada 2017 (turun 84 persen), ada kekhawatiran bahwa skema akuisisi yang ditempuh lebih ditujukan untuk melindungi investasi pemegang saham publik dibanding untuk memberi manfaat optimal bagi negara melalui aset-aset yang ada di Pertagas dan PGN, serta memberi keuntungan terbesar bagi perusahaan Pertamina sebagai induk holding.

“Di satu sisi, ternyata laba bersih Pertagas dalam kurun waktu yang sama cukup stabil, yakni berkisar dari US$122 juta pada 2012 menjadi US$141 juta pada 2017,” ungkapnya.

Dirinya melanjutkan, aset PGN memang meningkat cukup tinggi, yakni dari US$2,91 miliar pada 2012, menjadi US$6,29 miliar pada 2017. Dalam kurun waktu yang sama, aset Pertagas meningkat dari US$727 juta menjadi US$1,93 miliar.

“Namun, ternyata tingkat return on asset (ROA) PGN dalam 5 tahun terakhir justru lebih buruk, turun dari  19 persen menjadi 2 persen, yakni sebesar 41 persen. Sedangkan ROA Pertagas justru lebih baik, yakni turun dari 12 persen menjadi 7 persen, atau turun hanya sebesar 11,7 persen. Kondisi ini memang tidak menguntungkan bagi investor (pemegang saham) asing di PGN, sehingga patut diduga ada kepentingan untuk melindungi,” tuturnya.

Untuk point yang ketiga, Marwan mengatakan, proses konsolidasi melalui akuisisi ingin dituntaskan dengan cepat tanpa memperhatikan kajian aspek-aspek terkait secara komprehensif, termasuk dalam hal organisasi, kelembagaan dan SDM.

Dan point keempat, proses konsolidasi dilakukan dalam kondisi organisasi dan manajemen Pertamina sedang tidak optimal. Sebagai pimpinan holding yang telah memperoleh penyerahan saham (inbreng) pemerintah di PGN, mestinya Pertamina memegang peranan yang dominan dalam proses konsolidasi.

Marwan melanjutkan, untuk point kelima, dengan mengakuisisi saham Pertagas, maka PGN perlu menyiapkan dana yang jumlahnya cukup besar. Jika PGN tidak mampu, maka alternatifnya adalah dengan skema rights issue saham baru atau dengan peminjaman dana kepada PGN dari Pertamina melalui penerbitan obligasi.

“Jika skema rights issue yang ditempuh, maka saham Pertamina berpotensi terdilusi, sedangkan dengan skema penerbitan obligasi, maka beban keuangan Pertamina akan bertambah,” katanya.

Point keenam, lanjut Marwan, dengan skema akuisisi berpotensi merugikan negara, terutama jika nilai 100 persen atau valuasi saham Pertagas dinilai lebih rendah dari seharusnya.

“Dan point yang terakhir, Kementerian BUMN menyatakan salah satu tujuan pembentukan holding BUMN Migas adalah untuk efisiensi industri migas nasional. Tapi jika memang tujuannya untuk efisiensi, seharusnya mekanisme konsolidasi Pertagas dengan PGN yang dipilih adalah yang paling efisien. Karena Pertagas dan PGN berada di bawah koordinasi Pertamina, maka seharusnya Pertamina yang mengurusi,” tukasnya.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *