Jakarta, MinergyNews– Indonesian Resources Studies (IRESS) dengan ini menuntut Presiden Joko Widodo untuk segera membatalkan Permen ESDM No.23 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Migas yang Berakhir Kontrak Kerja Samanya (KKS-nya), karena bertentangan dengan konstitusi Pasal 33 UUD 1945, menghambat peningkatan ketahanan energi nasional dan melanggengkan penguasaan SDA migas oleh asing, serta mengurangi potensi penerimaan negara sektor migas.
Direktur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara menegaskan, pemberlakuan Permen ESDM No.23/2018 juga menghambat dominasi BUMN untuk menjadi tuan di negeri sendiri dan menunjukkan sikap inferior bangsa Indonesia di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia.
Seperti diketahui, Permen ESDM No.23/2018 diterbitkan pada tanggal 24 April 2018 guna menggantikan Permen ESDM No.15/2015. Terlihat bahwa penerbitan Permen ESDM No.23 ini dengan sengaja ditujukan untuk memberi jalan mulus kepada kontraktor asing (existing) melanjutkan pengelolaan wilayah kerja (WK) yang KKS-nya berakhir, seperti tertuang pada Pasal 2 Permen No.23/2018. Padahal, pada Pasal 2 Permen ESDM No.15/2015, pengelolaan WK tersebut diprioritaskan untuk diberikan kepada BUMN/Pertamina.
Marwan menjelaskan, jika merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.36/PUU-X/2012 sebagai hasil judicial review atas UU Migas No.22/2001, maka pengelolaan WK-WK migas hanya boleh dilakukan oleh BUMN. Hal ini merupakan perwujudan dari amanat Pasal 33 UDD 1945 tentang 5 aspek penguasaan negara yang harus berada di tangan pemerintah dan DPR, yakni pembuatan kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan. MK menegaskan, khusus untuk aspek pengelolaan, penguasaan negara tersebut dijalankan oleh pemerintah melalui BUMN.
Oleh sebab itu, tambah Marwan, jika Pemerintahan Jokowi masih mengakui keberadaan dan berlakunya UUD 1945, maka tidak ada alternatif lain kecuali menyerahkan pengelolaan WK-WK yang berakhir KKS-nya kepada BUMN/Pertamina. Jangankan ketentuan dalam Peraturan Menteri ESDM, bahkan ketentuan dalam UU Migas pun harus tunduk kepada amanat konstitusi. Sehingga, tanpa mempertimbangkan argumentasi lain, atau konsiderans “Menimbang” dan “Mengingat” pada Permen ESDM No.23 tersebut, maka secara otomatis Permen ESDM No.23/2018 harus batal demi hukum.
Ternyata Permen ESDM No.23 yang akan melanggengkan dominasi kontraktor asing, juga bertentangan dengan berbagai ketentuan dalam UU Energi No.30/2007. Pasal 2 UU Energi menyatakan energi dikelola berdasarkan asas kemanfaatan, berkeadilan, keberlanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, ketahanan nasional, dan keterpaduan dengan mengutamakan kemampuan nasional. Pasal 4 UU Energi menyatakan rangka mendukung pembangunan nasional berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan energi nasional, maka sumber daya energi fosil, panas bumi, hidro skala besar, dan sumber energi nuklir dikuasai negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Seperti tercantum dalam konsiderans “Menimbang”, alasan utama yang menjadi dasar penerbitan Permen ESDM No.23 adalah: a) perlunya mempertahankan dan meningkatkan produksi migas bumi dan menjaga kelangsungan investasi pada WK yang akan berakhir KKS-nya; dan b) bahwa Permen ESDM No.15/2015 dianggap sudah tidak memenuhi perkembangan dan dinamika kegiatan migas. Dengan konsiderans tersebut, maka KESDM menetapkan prioritas pengelolaan WK habis kontrak kepada kontraktor existing (asing!). Apakah jika dikelola BUMN bangsa sendiri produksi migas turun dan kelangsungan investasi terhambat? Lantas, dinamika seperti apakah yang tidak terakomodasi pada Permen No.15/2015?
IRESS sangat yakin bahwa alasan-alasan yang tercantum pada konsiderans Permen No.23/2018 merupakan hal yang absurd, tidak relevan dan mengada-ada, sekaligus merendahkan dan menghina kemampuan SDM bangsa sendiri! Pernyataan yang merendahkan Pertamina sehingga dihalangi mengelola Blok Mahakam dengan alasan ketidakmampuan SDM, manajemen dan teknologi, atau produksi migas akan turun, investor asing akan lari, dan lain-lain, telah terjadi saat KESDM saat dipimpin Jero Wacik dan Rudi Rubiandini. Penghinaan kepada bangsa sendiri ini tampaknya berulang melalui penerbitan Permen No.23/2018.
Di samping pertimbangan aspek konstitusional dan legal di atas, ternyata Permen ESDM No.23/2018 menyimpan misteri kemungkinan terjadinya perburuan rente. Perburuan rente ini dapat terjadi melalui penunjukan langsung kontraktor KKS existing untuk melanjutkan pengelolaan WK yang KKS-nya berakhir (Pasal 2). Dalam hal ini, dasar perhitungan dana yang harus dibayar oleh sang kontraktor (di luar signatory bonus) tidak jelas, sehingga rawan untuk terjadinya KKN/korupsi. Padahal dalam Permen No.15/2015, proses akuisisi saham WK tersebut dilakukan secara B-to-B dengan BUMN.
Negara dan BUMN akan dapat menghindari KKN, sekaligus akan memperoleh dana akuisisi saham yang optimal jika setiap WK yang KKS-nya berakhir diserahkan kepada BUMN. Kemudian BUMN-lah yang melakukan tender atau mengundang (farm-out) kontraktor lain untuk memiliki saham dalam pengelolaan WK tersebut secara B-to-B.
Penyerahan pengelolaan WK kepada BUMN juga akan dapat menghindari masuknya perusahaan-perusahaan siluman yang didukung oleh oknum-oknum penguasa untuk memiliki saham tanpa membayar dana akuisisi. Hal ini pernah terjadi pada proses perpanjangan WK West Madura Off-Shore (WMO) pada 2011. Saat itu, Kementrian ESDM setuju memberikan 50% saham WMO kepada Pertamina. Sedang 50% sisanya di bagi merata kepada CNOC, Kodeco dan 2 perusahaan siluman. Namun setelah kasus ini dilaporkan kepada KPK, KESDM merubah kepemilikan saham menjadi 80% untuk Pertamina dan 20% untuk Kodeco.
Dengan Permen ESDM No.23/2018, potensi terjadinya kasus bagi-bagi saham kepada perusahaan siluman secara gratis atau membayar secara “damai”, jauh di bawah nilai yang seharusnya, seperti pada kasus WMO, sangat besar. Apalagi, jika oknum-oknum penguasa pengidap moral hazard mendapat kesempatan mengambil keputusan. Itu pula salah satu sebab mengapa IRESS, selain alasan konstitusional/legal, menolak pemberlakuan Permen tersebut.
Presiden Jokowi pernah mengatakan akan menjadikan Pertamina menjadi tuan di negeri sendiri dan mengungguli Petronas dalam 5 tahun ke depan (4/7/2014). Begitu pula Wapres JK pernah menyatakan kontrak-kontrak migas yang telah berusia di atas 25 tahun seharusnya tidak diperpanjang (17/7/2012). Ternyata ketentuan Permen ESDM No.23/2018 justru bertolak belakang dengan visi dan sikap Presiden tersebut. Sadarkah Presiden dengan apa yang telah diucapkan dan berupaya optimal untuk mewujudkan? Apakah Presiden terlibat dan telah merestui penerbitan Permen No.23/2018 tersebut?
Kita tidak tahu apa jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Kita pun tidak ingin Presiden hanya beretorika dan menebar janji-janji kosong yang menipu rakyat! Yang jelas, jika ingin menjaga martabat dan harga diri bangsa, mematuhi amanat konstitusi, menegakkan kedaulatan negara, meningkatkan ketahanan energi yang saat ini terpuruk dan menjalankan peraturan yang berlaku, serta mencegah terjadinya KKN, maka Permen ESDM No.23/2018 harus segera dicabut! Jika tidak, maka akan terbuka peluang terjadinya pelanggaran konstitusi dan KKN yang dapat berujung kepada proses pemakzulan terhadap pemimpin yang berkuasa.
IRESS pun menghimbau DPR, MPR dan seluruh rakyat untuk menggugat dan membatalkan Permen No.23/2018 tersebut dan mengembalikan hak pengelolaan SDA milik negara kepada BUMN sesuai konstitusi. Pada saat yang sama IRESS juga meminta KPK untuk memantau secara seksama proses negosiasi perpanjangan kontrak-kontrak migas dan minerba (misalnya Freeport dan PKP2B) yang sedang berlangsung, karena berpotensi terjadinya KKN dan perburuan rente, termasuk pengumpulan logistik Pemilu 2019.