Jakarta, MinergyNews– Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono mengatakan, hingga saat ini, tercatat 13 smelter nikel yang telah terbangun, namun tiga diantaranya kini terhenti operasinya karena alasan keekonomian perusahaan. Ketiga smelter dimaksud adalah PT Indoferro dan PT Bintang Timur Steel di Cilegon, serta PT Cahaya Modern Metal Industri di Sulawesi Tenggara.
Dalam laporan yang disampaikan Direktorat Jenderal (Ditjen) Minerba, akhir Juli lalu, disebutkan bahwa ketiganya berhenti beroperasi dikarenakan masalah ekonomi perusahaan, terutama akibat pengoperasian peleburan nikel dengan menggunakan teknologi Blast Furnace yang sangat dipengaruhi harga bahan baku, salah satunya adalah kokas.
Harga kokas, yang memiliki porsi 40% dari total biaya produksi, meningkat dari rata-rata 100 USD/ton pada tahun 2015 menjadi 200-300 USD/ton sejak akhir tahun 2016. Hal inilah yang menjadi penyebab terhentinya kegiatan produksi PT Cahaya Modern Metal Industri.
Sementara itu, operasi PT Indoferro dan PT Bintang Timur Steel sejak awal tidak di desain untuk memurnikan bijih nikel sehingga tingkat keekonomiannya akan berbeda dengan desain awal. PT Indoferro semula memurnikan bijih besi sedangkan PT Bintang Timur Steel semula memurnikan bijih mangan.
PT Indoferro yang memiliki kapasitas output 200.000 ton per tahun berhenti berproduksi sejak 19 Juli 2017. Sementara PT Bintang Timur Steel yang berkapasitas produksi 37.440 ton per tahun sejak commissioning pada Juli 2015 belum beroperasi secara continue.
Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa hingga saat ini terdapat 10 smelter nikel beroperasi dengan total produksi 1.468.596 ton per tahun. Sementara, 13 smelter nikel lainnya saat ini dalam tahap konstruksi dengan total kapasitas mencapai 1.853.000 ton per tahun apabila ke-13 smelter tersebut sudah berproduksi.