Jakarta, MinergyNews– Dengan adanya Listrik yang lebih murah, akan membuat perekonomian, termasuk industri, tumbuh lebih baik.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Hendra Iswahyudi mengatakan, skema pembelian listrik dari pembangkit listrik batubara, baik mulut tambang dan non mulut tambang, masa kontrak pembelian adalah 30 tahun dengan asumsi capacity factor 80% dengan pola BOOT (Build, Own, Operate and Transfer).
“Pembangunan Jaringan listrik dapat dilakukan Pengembang Pembangkit Listrik (PPL) berdasarkan mekanisme business to business,” ujarnya belum lama ini di Jakarta.
Selain itu, tambahnya, pembelian tenaga listrik dari Pembangkit Mulut Tambang dapat melalui Penunjukan Langsung. Penambahan kapasitas pembangkit (ekspansi) di lokasi yang sama dapat dilakukan penunjukan langsung, dengan persyaratan harga listriknya harus di bawah harga patokan.
Selanjutnya, Penambahan kapasitas pembangkit (ekspansi) di lokasi yang berbeda pada sistem yang sama dapat dilakukan pemilihan langsung, dengan persyaratan harga listriknya harus di bawah harga patokan.
Acuan harga pembelian listrik PLTU Mulut Tambang diatur sebagai berikut: Jika BPP Pembangkitan setempat lebih rendah dari BPP Pembangkitan Nasional, maka harga patokan tertinggi mengacu pada 75% BPP Pembangkitan setempat.
Namun, jika BPP Pembangkitan setempat lebih tinggi dari BPP Pembangkitan Nasional, maka harga patokan tertinggi mengacu pada 75% BPP Pembangkitan nasional. “Harga pembelian tenaga listrik ditetapkan dengan asumsi faktor kapasitas pembangkit sebesar 80%,” tuturnya.
Peraturan Menteri Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Batubara untuk Pembangkit Listrik dan Pembelian Kelebihan Tenaga Listrik (Excess Power) ini juga diatur Harga Pembelian Liistrik PLTU Non Mulut Tambang dengan kapasitas lebih besar dari 100 MW yaitu: Jika BPP Pembangkitan setempat lebih rendah dari BPP Pembangkitan Nasional, maka harga patokan tertinggi mengacu pada BPP Pembangkitan setempat. Jika BPP Pembangkitan setempat lebih tinggi dari BPP Pembangkitan Nasional, maka harga patokan tertinggi mengacu pada BPP Pembangkitan nasional.
Sedangkan pengaturan untuk harga pembelian listrik Non Mulut Tambang untuk kapasitas ≤ 100 MW adalah: Jika BPP Pembangkitan setempat lebih rendah dari BPP Pembangkitan Nasional, maka harga patokan tertinggi mengacu pada BPP Pembangkitan setempat. Sedangkan Jika BPP Pembangkitan setempat lebih tinggi dari BPP Pembangkitan Nasional, maka harga berdasarkan lelang atau mekanisme business to business.
Hendra juga menjelaskan filosofi dari penggunaan listrik Excess Power, yaitu untuk memperkuat sistem kelistrikan setempat apabila pasokan daya kurang atau untuk menurunkan BPP Pembangkit di sistem ketenagalistrikan setempat. “Harga pembelian Excess Power maksimal 90% BPP Pembangkitan setempat” jelas Hendra.
Harga pembelian excess power dilakukan dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan sistem ketenagalistrikan setempat. Jangka waktu kontrak sesuai kebutuhan sistem ketenagalistrikan setempat (dapat kurang atau lebih dari 1 Tahun), namun harganya dievaluasi setiap tahun sesuai dengan perubahan BPP. Pengoperasian pembangkit tenaga listrik harus mengacu pada Aturan Jaringan Sistem Tenaga Listrik (Grid Code) pada sistem setempat atau aturan distribusi tenaga listrik.
Hendra menambahkan, BPP pembangkit di sistem kelistrikan setempat yang dipergunakan sebagai dasar dalam perjanjian jual beli tenaga listrik adalah BPP pembangkit di sistem kelistrikan setempat pada tahun sebelumnya yang telah ditetapkan oleh Menteri ESDM atas usulan PLN.
Hendra dalam kesempatan tersebut juga menyampaikan bahwa dengan keluarnya kebijakan ini, investasi PLTU & PLTU MT masih menarik. Hingga akhir Februari 2017 tercatat setidaknya 16 PPA PLTU dan 2 PPA PLTU Mulut Tambang dengan total kapasitas 8.241 MW, yang telah ditandatangani antara PLN dan IPP. “PPA delapan belas Pembangkit PLTU dan PLTU MT di atas, harganya dibawah harga sesuai ketentuan Permen 19 tahun 2017,” tutup Hendra. (us)