Jakarta, MinergyNews– Konsorsium Energi Panas Bumi yang dibentuk Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) menyiapkan pengembangan peta jalan pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dari hulu hingga hilir.
“Kemarin itu yang terbentuk baru embrionya saja, siapa yang sudah siap ya jalan duluan, nanti pemangku kepentingan lain dari industri akan bergabung. Mereka (BPPT, UGM, ITB, UI) sudah sepakat memulai penelitian 2017,” ujar Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kemristekdikti Muhammad Dimyati di Jakarta.
Dimyati mengatakan, penelitian awal yang dimulai 2017 hasilnya akan menjadi rekomendasi untuk memperkuat kinerja PLTP 3 Megawatt (MW) yang sudah dikembangkan BPPT di Kamojang, Jawa Barat dan PLTP-PLTP lain yang selanjutnya akan dikembangkan di Indonesia.
“Penelitian hulu dan hilir dilakukan sesuai dengan keahlian masing-masing. Misalkan perguruan tinggi, nanti akan melakukan penelitian di hulu untuk mengetahui kondisi geologi hingga kekuatan dari uap yang dihasilkan dari masing-masing lokasi panas bumi,” tutur Dimyati.
Setiap sumur uap, ia mengatakan karakternya berbeda-beda. Maka turbin yang dikembangkan harus didesain sesuai dengan kekuatan gas, kandungan dan aktivitas uap airnya sehingga perlu kajian awal.
Berdasarkan informasi dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ada sekitar 300 titik panas bumi yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi PLTP. Meski demikian, menurut Dimyati, penelitian tidak perlu dilakukan di semua titik karena akan dibuat kajian makro sebagai rekomendasi mana yang akan diteliti.
Kajian-kajian tersebut, ia mengatakan tentu juga akan memperhitungkan kebijakan-kebijakan dari sejumlah kementerian terkait seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian BUMN hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Misalnya ada satu sumur yang berdasarkan kebijakan Kementerian ESDM boleh dikembangkan tapi karena memperhatikan aspek keseimbanhan lingkungan maka harus juga memperhitungkan kebijakan KLHK. Dari sana akan dikaji, 300 MW itu misalnya hanya bisa dikembangkan 100, dan itu akan dikoordinasikan lagi mana yang akan diteliti dicari yang potensinya paling tinggi,” ujar Dimyati.
Pertimbangan lain yang dilakukan, menurut dia, tentu terkait dengan kebutuhan mendesak elektifikasi di satu daerah. Contohnya saja di daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang selama ini masih menggunakan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD).
“Konsorsium akan melengkapi apa yang selama ini sudah dikembangkan, seperti di Kamojang dibuat dengan TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri-red) tinggi, tapi di lokasi lain apakah perlu semuanya seperti itu, nanti akan ikut dikaji,” kata Dimyati.
Sementara itu, dirinya mengatakan, survei sekitar 300 lokasi tentu juga membutuhkan waktu, nanti akan dilihat apakah satu sumur dibuat satu PLTP atau beberapa sumur bisa dibuat satu PLTP. Semua akan diperhitungkan oleh konsorsium. (us)